KEEMPAT gadis itu melayang menembus kepekatan malam, seperti peri hutan yang membelah angan. Nun jauh di sana, sang Purnama mengintip malu-malu dari balik mega.
Keempatnya berlari dalam formasi yang nyaris sama. Putri Harum Hutan berada di depan, dan tiga rekannya berjejer di belakang. Hanya sesekali mereka beriringan.
Dengan laghima sarira (ilmu meringankan tubuh) tingkat tinggi, tak sukar bagi mereka melintasi waktu. Kadang mereka berlari di pucuk pohon, terkadang menembus semak, atau menjejak permukaan rumput yang mulai basah.
Sepeminum teh sudah berlalu. Trowulan kini jauh di belakang, hanya berupa kerlip tidak nyata.
“Kenapa kita tidak mampir dulu ke rumah?” Gadis yang mengenakan busana serba hijau bertanya. Karena mereka selalu mengenakan warna pakaian yang identik dengan nama maka yang barusan berujar itu adalah Dara Hijau.
Keluarga Putri Harum Hutan memiliki rumah yang cukup besar yang terletak di utara Trowulan. Rumah yang biasa disebut Graha Harum ini dihadiahkan Tribhuwana Wijayottunggadewi Dyah Gitarja, semasa ibunda Rajasanagara Dyah Hayam Wuruk ini memerintah Majapahit. Graha Harum sangat besar, ukurannya nyaris menyamai keraton, dan dijadikan sebagai kediaman resmi keluarga besar Putri Harum Hutan yang berasal dari Melayu. Putri Harum Hutan sendiri hanya menjadikan Graha Harum sebagai tempat persinggahan, dan lebih suka menghabiskan waktunya di Pondok Harum yang terletak di tengah hutan.
Putri Harum Hutan dan ketiga rekannya baru saja tiba dari Dharmasraya, ibukota kerajaan Melayu di Swarnadwipa dan memutuskan untuk singgah di Graha Harum. Rencananya mereka akan menghabiskan tiga hari di Graha Harum sekaligus bertamasya dan cuci mata di Trowulan. Siapa sangka, munculnya pesan singkat dari Pendekar Padi Emas memaksa mereka kini menembus kegelapan tanpa membawa apapun, karena semua perbekalan dan pakaian ditinggalkan di Graha Harum!!
“Waktu kita sempit. Kita tak punya waktu,” sahut Putri Harum Hutan.
“Bahkan tak bisa menunggu hingga fajar?” ujar Dara Merah.
Resminya ketiga gadis ini, Dara Merah, Dara Biru dan Dara Hijau adalah pembantu atau pelayan Putri Harum Hutan. Namun karena usia mereka sebaya, ditambah Putri Harum Hutan yang tak mementingkan peradatan, ketiga gadis itu diperlakukan layaknya sahabat dekat. Para ‘pelayan’ ini sudah terbiasa mengungkapkan isi hati. Tentu saja, kendati diperlakukan sebagai sahabat, ketiga gadis ini tahu menempatkan diri. Kalimat mereka selalu dipenuhi rasa hormat yang sangat dalam.
“Jika menunggu hingga fajar, semuanya sudah terlambat…”
***
Keempat gadis itu melayang menembus kepekatan malam, seperti peri hutan yang membelah angan. Nun jauh di sana, sang Purnama mengintip malu-malu dari balik mega.
Angin yang dingin menerpa wajah, namun tak mampu menyingkirkan peluh yang mulai menetes.
“Aku rasa ada yang mengejar kita…” bisik Dara Biru.
“Juga ada yang membayangi…” sahut Dara Merah.
“Dan sebentar lagi kita pasti akan dihadang…” desah Dara Hijau.
“Tetap waspada,” ujar Putri Harum Hutan. Nada bicaranya tetap tenang. “Apapun yang terjadi, tujuan kita adalah mendatangi Pondok Harum.”
Mereka kini meninggalkan Hutan Sampiran dan memasuki kawasan perbukitan Nirkala. Keempat gadis itu kini melewati padang rumput yang lebarnya sekitar dua puluh tombak. Di kanan kiri padang rumput berjejer pepohonan yang menghitam.
“Tetap waspada,” bisik Putri Harum Hutan. Jika dia berencana menghadang seseorang, maka tempat ini sangat ideal. Karena di sini…
“Awas panah!!!!” teriak Dara Hijau.
Nyaris tanpa suara, dari empat penjuru angin meluncur anak panah yang membelah udara. Putri Harum Hutan yang lebih dulu bertindak. Dia menjejakkan kaki ke anak panah terdepan, menggunakannya sebagai pijakan dan melompat tinggi.
Dara Merah, Dara Biru dan Dara Hijau melakukan hal yang sama sekali berbeda. Mereka memutar tubuh dengan indah. Ketika putaran tubuh berhenti, masing-masing mereka kini menggenggam belasan anak panah!!
Di malam yang hanya diterangi cahaya bulan yang samar, sangatlah sukar menghindari serangan anak panah yang datang dari empat penjuru. Namun ketiga gadis ini tak hanya bisa menghindar. Mereka justru berhasil menangkap anak panah yang tadinya mengarah ke tubuh mereka!!
“Dara Hijau, kau temani putri. Biar aku dan Dara Merah yang menghabisi mereka,” teriak Dara Biru. Dia segera mengibaskan kedua lengannya. Anak panah yang digenggam melayang, berdesing dan diakhiri jerit kematian. Dara Merah melakukan hal yang sama. Melepaskan anak panah ke tempat mereka berasal. Anak panah itu berdesing dan diakhiri jerit kematian yang mengerikan.
Dara Hijau mengibaskan anak panah ke arah depan. Tanpa mempedulikan jerit kematian yang membelah malam, dia mengerahkan laghima sarira dan mengejar Putri Harum Hutan yang sudah jauh di depan.
***
Ketika pertama kali membaca pesan rahasia dari sepupunya, Putri Harum Hutan sudah menyadari betapa seriusnya persoalan yang harus dihadapi. Penghadangan yang baru saja dilewati merupakan bukti. Ada pihak yang tak menghendaki dirinya pergi ke Pondok Harum.
Dia mengkertakkan gigi. Apapun yang terjadi, dia harus sampai ke pondok!!
Putri Harum Hutan sama sekali tak mengkhawatirkan nasib ketiga pelayannya. Dia tahu seberapa tinggi ilmu silat ketiga pelayan yang juga rekannya. Mereka mampu menjaga diri. Berdasarkan kecepatan luncuran anak panah dia bisa memperkirakan seberapa tinggi ilmu beladiri para penghadang. Walaupun jumlahnya puluhan namun mereka bukan lawan sepadan untuk Dara Merah dan Dara Biru.
Putri Harum Hutan kini memasuki Bukit Bambu Merah. Bukit yang terkenal karena ditumbuhi ratusan pohon bambu berwarna merah. Karena keindahannya, kawasan ini kerap dijadikan lokasi wisata keluarga kerajaan.
Tubuh Putri Harum Hutan melayang ringan di pucuk bambu. Ini kawasan terdekat ke Pondok Harum. Dan tiba-tiba terdengar siulan. Diikuti desingan pedang berwarna keperakan yang membelah malam.
Putri Harum Hutan yang sejak tadi bersiaga segara mengelak. Namun desingan terus berdatangan, bagai gelombang.
Gadis itu berteriak sambil memutar tubuh. Kedua kakinya menendang bambu terdekat. Dia kemudian mengibaskan kedua lengannya. Daun bambu yang rontok tiba-tiba terbang dan menghujam.
Terdengar teriakan, disusul suara tangkisan. Dan kemudian sunyi.
Putri Harum Hutan berdiri tenang. Kedua kakinya menjejak dua pucuk bambu. Di sekelilingnya nampak delapan sosok yang juga berdiri di pucuk bambu. Berdiri dengan gagah dan indah.
Kedelapan pengepung hanya berdiri dengan kaki kanan, karena kaki kiri diangkat setinggi paha. Lengan kiri mereka diletakkan di depan dada, dengan gerakan setengah menyembah. Tangan kanan yang memegang pedang melakukan gerakan yang bervariasi. Tiga sosok mengacungkan pedang ke langit. Dua di sebelah kanan mengangkat pedang setinggi bahu di kanan kiri. Dua di sebelah kiri menudingkan pedang ke permukaan tanah. Sosok yang berdiri tepat di depan Putri Harum Hutan mengacungkan pedangnya ke arah sang putri.
“Sudah lama aku mendengar kehebatan Delapan Pedang Gunung Lawu. Tak disangka Delapan Pedang Gunung Lawu kerjanya hanya menghadang seorang gadis di tengah malam. Sungguh memalukan!!!” Putri Harum Hutan berujar dingin.
Melihat formasi gerakan, dalam sekali pandang dia bisa menebak siapa para penghadang. Dan diam-diam dia merasa heran. Delapan Pedang Gunung Lawu setahunya bukanlah tokoh golongan hitam. Kenapa mereka kini menghadangnya?
“Sudah lama kami mendengar Prana Bayu Agni (Tenaga Sakti Angin Api) yang menggetarkan langit. Sungguh merupakan keberuntungan bagi kami bisa merasakan kehebatan Prana Bayu Agni…” Yang bicara adalah sosok yang mengacungkan pedang ke arah Putri Harum Hutan.
Prana Bayu Agni adalah tenaga sakti yang digunakan Putri Harum Hutan ketika mengibaskan daun bambu ke arah lawan. Di Nusantara, Prana Bayu Agni disebut-sebut sebagai salah satu dari lima ilmu tenaga dalam yang paling dahsyat.
Prana Bayu Agni adalah ilmu rahasia yang hanya diajarkan kepada penghuni Keraton Melayu. Ilmu tenaga dalam inilah yang dijadikan dasar ilmu beladiri yang dikembangkan Pendekar Padi Emas. Dengan ilmu ini dia bisa menjadikan butiran emas berbentuk padi menjadi senjata rahasia yang mematikan.
Putri Harum Hutan, seperti halnya ketiga pembantunya, tidak menjadikan benda tertentu sebagai senjata. Dengan tingkat tenaga sakti yang dimiliki, dia bisa menjadikan benda apa saja sebagai senjata. Bukan hanya berbagai macam daun namun juga butiran tanah, kerikil, pasir, kulit kayu, tulang hewan bahkan embun dan juga air liur!!
“Huh, aku tidak punya waktu untuk bermain-main dengan kalian. Aku pergi!!!” Putri Harum Hutan melompat dan mengibaskan lengannya ke sosok yang berdiri di depannya. Daun bambu yang tadi digenggam menghujam.
Namun lawan rupanya sudah bersiaga. Dia melompat sambil mengibaskan pedangnya menangkis. Di saat bersamaan, hujan pedang datang tanpa suara.

Putri Harum Hutan menendang bambu yang tadi ‘ditumpangi’ lawan. Dia menangkap patahan bambu dan menangkis .
Dia memang tak memerlukan senjata. Namun menghadapi lawan yang semuanya bersenjata tajam, Putri Harum Hutan perlu sesuatu yang bisa digunakan untuk menangkis. Dan batang bambu yang lentur merupakan senjata yang sangat ideal, karena dia bisa menyalurkan tenaga sakti sesuai kebutuhan.
Terjadi pertarungan sengit. Seorang gadis yang memegang bambu merah dikerubuti delapan pendekar bersenjata pedang.
“Sial, mereka hebat,” gerutu Putri Harum Hutan dalam hati. Kerjasama mereka sangat padu. Jika ada yang menyerang, yang lainnya bertahan. Gerakan mereka bergelombang, silih berganti dan nyaris tak terputus.
Dan kemudian Putri Harum Hutan menyadari sesuatu. Pihak lawan terkesan tak sungguh-sungguh menyerang. Mereka hanya berupaya agar dia tidak bisa kabur.
“Mereka mengulur-ulur waktu,” geramnya. “Mereka sengaja menghambat upayaku ke Pondok Harum.”
Sadar dirinya terpedaya, Putri Harum Hutan menggerakkan tongkat bambunya ke lawan terdekat. Lawan menangkis. Tongkat Putri Harum terpotong. Dan terpotong. Dan terpotong lagi, hingga sepanjang dua jengkal.
Ketika lawan tersenyum girang, Putri Harum Hutan mengerahkan tenaga. Tongkat yang tersisa hancur. Dengan satu kibasan serpihan tongkat menghujam ganas. Menerpa wajah.
“Mataku… Mataku!!!!”
Putri Harum Hutan tak menghiraukan lawan yang menjerit kesakitan. Dia melompat, hendak pergi.
“Kau telah membuat saudara kami buta. Kau harus membayar dengan matamu,” bentak seorang lelaki. Dalam sekejap, sang putri kembali dikerubuti lawan, yang kini mencecar ganas. Mengincar nyawa.
“Traaaangggg!!!!”
Entah dari mana, tiba-tiba muncul sesosok lelaki yang menangkis serangan para pengepung. Lelaki ini tidak datang sendirian, namun ditemani Dara Hijau.
Putri Harum Hutan mengamati sang penolong, yang tangkisannya mampu membuat pedang lawan tergetar!! Seseorang yang mampu membuat pedang Delapan Pedang Gunung Lawu tergetar pastilah bukan orang sembarangan.
“Pendekar Mata Naga. Ternyata kau…”
Lelaki itu menundukkan kepala, memeriksa pedang hitam berkarat yang tadi digunakan.
“Kenapa kau menolongku?” Pertolongan tak terduga dari Pendekar Mata Naga membuatnya senang. Sekaligus curiga.
“Alasanku sama denganmu …” Pendekar Mata Naga berbisik lirih. Dan melanjutkan dengan kalimat yang membuat Putri Harum Hutan terbelalak, “Sang Surya sudah terbit dan menanyakan hujan…”
“Ka… kau juga?”
Pendekar Mata Naga mengangguk. “Iya. Juga Pendekar Codet. Dan Pendekar Harimau Hitam. Pendekar Codet kini membantu Dara Merah dan Dara Biru. Sementara Pendekar Harimau Hutan kini bertarung melawan Lima Cakar Ganas yang bermaksud menghadangmu. Seharusnya Lima Cakar Ganas kini tak lagi menjadi masalah….”
Pendekar Mata Naga menatap sekeliling, mengamati Delapan Pedang Gunung Lawu yang kini berdiri dengan formasi menyerang.
“Kau pergilah, putri. Pergilah ke pondok. Tolonglah dia. Biar aku menghadapi mereka…”
Putri Harum Hutan mengangguk. Dan untuk pertama kali semenjak meninggalkan Trowulan, dia tersenyum.
“Baiklah. Aku pergi. Kuserahkan mereka kepadamu…”
Putri Harum Hutan melompat. Disusul sambaran tujuh pedang yang mengitari. Namun Putri Harum Hutan terus melaju. Sama sekali tidak menangkis. Atau mengelak. Dengan hadirnya Pendekar Mata Naga, dia tak perlu melakukan apa-apa.
Putri Harum Hutan melayang menembus kepekatan malam, seperti peri hutan yang membelah angan. Nun jauh di sana, sang Surya mulai mengintip di ufuk timur.
“Dewata yang Agung, semoga aku belum terlambat…” (bersambung)
*gambar diambil dari affenheimtheater *
Labels: darah di wilwatikta, hujan, majapahit, pedang, trowulan
mou, ayo mou... kita lunch bareng... -- next week? :D d.~
dan... happy anniversary -- selamat untuk ulang tahun pertama mechta.blogdetik.com. semoga panjang umur, ya! d.~
ikut hanyut neeh dicritanya..
serasa jadi epndekar beneran :D
aduuhh..motongnya pas lagis eru begini..
**lanjut lagi aaahh.. :)