Eps 13. Tamu Tak Diundang Datang Membelah Malam

PADA saat yang sama ketika Putri Harum Hutan serta ketiga Dara meninggalkan Trowulan dan melayang menembus kepekatan malam seperti peri hutan yang membelah angan, Kiran sedang menghirup air hangat dari cangkirnya di sebuah pondok di tengah hutan.


Pondok milik Putri Harum Hutan.


Malam sangat pekat. Kiran dan Dhanapati sedang bersantap malam. Sebentar lagi setelah makan malam, tiba waktunya bagi Kiran untuk mengobati Dhanapati.


Luka- luka Dhanapati bukan luka ringan. Karenanya pengobatan yang dilakukan Kiran padanya mengambil waktu terbanyak dalam keseharian mereka. Pagi, siang dan malam, kegiatan utama Kiran adalah melakukan pengobatan pada pasiennya itu.


Dari apa yang diceritakan Dhanapati, Kiran kini sedikit- sedikit sudah mengetahui mengapa Bhayangkara Biru mengejar Dhanapati. Dan apa yang diketahuinya itu melegakan hati. Paling sedikit dia tahu bahwa Dhanapati bukan penjahat. Dia dikejar karena dia mengundurkan diri dari keanggotaan Bhayangkara Biru untuk menikahi Sekar Wangi.


Perasaan Kiran campur aduk antara lega dan pedih mengetahui kenyataan ini.


Dia lega setelah mengetahui bahwa Dhanapati bukan penjahat. Tapi bahwa ada seorang istri dan bayi yang meregang nyawa tanpa dosa, tanpa tahu apa- apa sungguh mengganggu perasaannya.




***


Kiran meneguk lagi air dalam cangkir keramiknya. Diliriknya Dhanapati yang sedang menyelesaikan makan malamnya.


Dan tiba- tiba dia teringat pada ayah dan kedua kakak lelakinya.


Rama, pikir Kiran, apakah hari- hari ini seperti biasa Rama akan pergi ke Trowulan untuk membeli bahan baku ramuan obat?


Biasanya secara teratur beberapa saat setelah bulan purnama berlalu, Kiran akan bepergian ke Kotaraja itu. Kadang- kadang hanya berdua dengan ayahnya, kadang- kadang beserta kedua saudara lelakinya.


Melihat Dhanapati yang sedang menyantap makan malamnya membuat Kiran teringat pada sebuah kedai makan yang sering dikunjunginya bersama Rama saat mereka berada di Trowulan.


Kedai bernama Pawon (Dapur) Manterakata yang berada tak jauh dari toko tempat beragam bahan obat-obatan yang biasa dikunjungi Kiran dan ayahnya itu sangat terkenal di kalangan para pendekar.


Kiran selalu menyukai kunjungannya ke kedai itu. Bukan semata karena makanannya, tapi lebih dari itu, dia senang mengamati pendekar-pendekar yang lalu lalang dan mampir makan di sana. Kiran tahu bahwa selain untuk makan dan minum, para pendekar itu berkumpul untuk mendengar, membawa dan bertukar kabar- kabar terbaru.


Oh…


Tiba- tiba saja Kiran merasa cemas.


Berita tentang dirinya yang saat ini tak berada di pusat pengobatan, pergi




bersama seorang pasien yang tak diketahui namanya mungkin sudah tersebar, dan bisa saja  juga menjadi bahan pembicaraan di Pawon Manterakata.


Padahal mudah diduga, sekali hal tersebut menjadi bahan percakapan di dalam kedai, maka tak akan perlu waktu lama, dalam sekejapan mata saja berita tersebut akan telah tersebar kemana- mana...


***


Di tempat lain pada saat yang sama…


Enam orang berdiri berjajar dalam gelap malam.


Sang Pemimpin berdiri di hadapan keenam orang itu. “Kalian semua sudah tahu di mana dia berada. Lakukan apa yang menjadi tujuan kita. Pastikan bahwa kita telah menangkapnya sebelum fajar menyingsing."


Enam kepala mengangguk.


Mereka tahu, dan mengerti.


Sang Pemimpin balas mengangguk lalu menjentikkan jari.


Dan...


Blag… blag… blag… suara kaki yang menjejak tanah terdengar. Ketujuh orang itu, enam anggota dan seorang pemimpin  melompat dan berlari ke satu arah.


Tujuan mereka jelas.


Pondok Harum Hutan.


Tempat di mana sasaran mereka berada…


***


terapi1


Dhanapati duduk bersila.


Di belakangnya, Kiran duduk sambil menyentuhkan telapak tangannya ke punggung Dhanapati. Dia sedang melakukan pengobatan.


Sesaat kemudian Kiran mengangkat tangannya dari punggung Dhanapati. Tangan itu bergerak- gerak seakan menari dan …


Bukkkk !!!


Ugh. Dhanapati menahan rasa ngilunya saat Kiran menghantam sebuah titik sekitar empat buku jari di bawah bahunya.


Dhanapati tahu ada banyak racun yang harus dikeluarkan dari tubuhnya, dan dia mengerti bahwa adakalanya Kiran harus mengeluarkannya dengan cara semacam itu.


Dhanapati menanti.


Tapi tak ada lagi hantaman setelah itu. Gerak tangan Kiran telah berubah. Dia memijit dengan gerakan melingkar yang sangat halus di tempat dimana dia menghantamkan kepalannya tadi.


Akkkhhhhh…


Dhanapati mengerenyit menahan nyeri.


Gerakan jemari itu berputar mengarah ke suatu titik pusat di dalam lingkaran yang dibentuk oleh jari jemari itu. Lalu tanpa aba- aba Kiran menekan titik di tengah lingkaran tersebut.


Saat gadis itu menekankan ibu jarinya pada titik pusat tersebutlah Dhanapati merasa seakan ujung sebuah benda tajam menghujam masuk ke dalam tubuhnya.


Lalu rasa nyeri itu menghilang.


Kiran telah mengangkat kembali tangannya. Kali ini dia menggerak- gerakkan telapak tangannya menelusuri arah mulai dari tengkuk Dhanapati dan bergerak ke bawah, ke arah bahu dan punggung.


Dhanapati merasakan aliran udara hangat menerpa tempat- tempat tersebut.


Kiran terus mengobati Dhanapati dengan beragam jenis gerakan tangan, dari yang sangat halus seperti gerakan para penari keraton hingga hantaman keras dan torehan ujung jari yang terasa setajam pisau.


***


Tiba- tiba tubuh Dhanapati menegang.


Kiran dengan segera menangkap hal itu. Dia sedang mengobati daerah di sekitar dada Dhanapati, dan jelas tampak bahwa lelaki yang sejak tadi tampak santai dan nyaman menjalani pengobatannya tiba- tiba menjadi tegang dan waspada


“ Ada apa? “ tanya Kiran pada Dhanapati.


Dhanapati diam tak menjawab. Dia mengerahkan seluruh tenaganya yang belum pulih untuk dapat menangkap suara di sekitar pondok.


Dhanapati pernah menjadi anggota Bhayangkara Biru, kelompok jagoan terpilih di Kerajaan Wilwatikta (Majapahit). Ilmu mereka sangat tinggi. Jurus mereka langka. Dan kemampuan mereka untuk menangkap tanda- tanda bahaya dengan bantuan alam sangat baik.


Barusan, Dhanapati mendengar suara daun kering yang terinjak. Perlahan. Sangat samar. Dan masih agak jauh. Tapi itu sudah cukup untuk memberi peringatan padanya bahwa bukan hanya dia dan Kiran yang ada di sekitar tempat itu.


Dhanapati menatap keluar dari celah- celah kayu. Celah yang dihasilkan oleh kayu-kayu yang menyusut itu ada yang cukup lebar dan bisa digunakan untuk melihat apa yang terjadi di luar sana.


Kiran dengan segera juga menghentikan pengobatannya dan berdiri tegak dalam posisi siaga.


Ada orang di luar.


Satu.


Dua.


Tiga.


…. Empat.


Lima.


… Enam.


Tujuh !




***


Bhayangkara Biru, pikir Kiran.


Tujuh orang jagoan Bhayangkara Biru yang beberapa hari yang lalu menyerang Dhanapati kini telah ada di dekat pondok dimana mereka berada…


( bersambung )


** gambar diambil dari www.divinelightcenter.net **


 

12 Comments:

  1. blacktiger said...
    wah makin menegangkan... btw, kapan pendekar harimau hitamnya datang ? :P
    Mechta said...
    Kira-kira soundtrack apa yg cocok pas adegan terakhir itu? *OOT*
    lena said...
    *deg-degan*
    wi3nd said...
    haduuchh....


    cemas cemas gimana getooh :D

    aku suka kalimat ini :
    melayang menembus kepekatan malam seperti peri hutan yang membelah angan :)

    seperti,seperti.. ah susah diungkapan dengan kata
    cyperus said...
    ough.. Sdikit OOT.. tiap gw baca serial ini pasti kbayang belahany Farida Pasha..haha.. *tepokjidat*
    cyperus said...
    ah kau..kek nunggu ak dtg malam minggu aja..hihi
    padepokanrumahkayu said...
    Apa ya? ada usul? ;) ~k
    padepokanrumahkayu said...
    hahahahahahahaha ;) ~k
    padepokanrumahkayu said...
    pendekar harimau unjuk cakar di bab 14 bro :mrgreen: ~k
    padepokanrumahkayu said...
    :) ;) :mrgreen: ~k
    padepokanrumahkayu said...
    hahaha...

    maksudnya farida pashanya ato mak lampir? hahaha ;) ~k
    lena said...
    @cipz: Ah.. ternyata kaw tak datang malam ini..
    kwkwkkw..... :p :p

Post a Comment