"Se..kar... Sekar Wangiii...."
Bisikan itu seperti datang dari alam maut. Lirih, nyaris tak terdengar. Kiran yang sedang meramu obat-obatan tertegun. Kaget. Dengan cepat dia menoleh ke arah lelaki itu. Pemuda itu masih terbaring. Matanya terpejam. Wajahnya merah padam.
Kiran mendekat. Pemuda itu bergerak gelisah.
"Sekar... Jangan... tinggal..kan akuuuu..."
Perasaan Kiran campur aduk. Pemuda itu mengigau, dan itu pertanda baik. Artinya dia telah melampaui masa kritis. Namun kata-kata yang terucap dari mulut pemuda itu membuat hati Kiran, entah kenapa, terasa seperti ditusuk. Siapa Sekar Wangi?
Kiran menyentuh dahi si pemuda, dan seperti dugaannya, dahi itu terasa panas. Juga tangannya. Dan tubuhnya. Gadis itu mengambil beberapa helai daun Jarak dan menempelkannya ke dahi dan ketiak.
Tiba-tiba terdengar suara mendehem. Seorang laki-laki setengah baya memasuki ruangan pengobatan. Dia berusia sekitar 60-an tahun, bertubuh sedang. Raut wajah lelaki itu bersih namun terlihat sangat serius.
"Nduk, ada hal penting yang harus kubicarakan..."
Kiran mengangguk heran. Tak biasanya ayahnya datang ke pusat pengobatan di siang bolong seperti ini.
"Aku mendengar kabar, di dukuh Ketan ada dua orang dari Bhayangkara Biru yang bertanya-tanya tentang seorang lelaki yang luka parah." Lelaki itu berhenti sejenak sambil menatap Kiran. "Aku rasa, yang mereka cari adalah lelaki yang sedang kamu rawat ini..."
"Hmmm... Bagaimana sampai warga dukuh Ketan tahu kalau yang bertanya-tanya itu adalah Bhayangkara Biru?"
"Keduanya memang tidak memperkenalkan diri. Namun pada dada sebelah kiri pakaian mereka ada sulaman burung Garuda yang mengepakkan sayap. Di Majapahit hanya satu organisasi yang mengenakan sulaman seperti itu. Bhayangkara Biru."
Kiran kembali mengangguk. Hal itu tidak membuatnya kaget. Sejak awal dia sudah menduga kalau lelaki yang terbaring lemah itu mendapat luka karena bertarung dengan beberapa anggota Bhayangkara Biru.
"Nduk, aku ingin kamu menyadari betapa pentingnya hal ini," lelaki itu berujar hati-hati. "Bhayangkara Biru hanya mengejar penjahat. Jika mengejar mereka sama sekali tak bermaksud untuk menangkap. Tapi membunuh. Dan jika benar lelaki ini yang mereka kejar, artinya dia bukan orang baik-baik..."
Kiran lagi-lagi mengangguk. Dan sesungguhnya hal itu yang selama ini menggelayut di benaknya. Lelaki ini terluka oleh pukulan khas milik Bhayangkara Biru. Dan Bhayangkara Biru hanya berkelahi dengan penjahat. Artinya...
"Tapi, tentunya tidak adil jika kita langsung menuduh pemuda ini tanpa mendengar penjelasan darinya," kata lelaki itu lagi.
"Jadi menurut Rama, bagaimana baiknya? Kita serahkan pemuda ini untuk mereka bunuh? Atau kita lawan mereka? Kita juga bukan orang yang bisa diperlakukan seenaknya bukan?"
Lelaki itu tertawa. Anak gadisnya ini tetap saja penuh semangat.
"Ingat nduk, kita ini bertugas sebagai tabib, untuk mengobati dan bukannya melukai. Lagipula mereka Bhayangkara Biru. Apa kamu sudah gila? Begini saja. Kita tentu saja tidak bisa menyerahkan pemuda ini kepada mereka. Kita juga tak bisa melawan jika mereka datang. Jalan satu-satunya, kau harus menyingkir bersama lelaki ini. Obati dia hingga sembuh. Jika sudah sehat, biarlah dia menyelesaikan urusannya dengan Bhayangkara Biru, apapun urusan mereka..."
Kiran termenung. Apa yang diungkapkan ayahnya masuk akal.
"Tapi bagaimana dengan pusat pengobatan ini? Dan kemana aku harus pergi?"
"Tentang pusat pengobatan, serahkan saja padaku. Tanganku yang sudah tua masih bisa meramu obat. Taluni juga kelihatannya sudah bisa membantu sedikit-sedikit. Kau tak usah khawatir..."
Perlahan lelaki itu mengelus rambut Kiran. "Aku punya teman lama yang mungkin bisa membantu. Dia dijuluki Pendekar Padi Emas. Pergilah kepadanya. Katakan padanya 'Sang Surya sudah terbit dan menanyakan hujan'. Dia pasti mengerti..."
Kiran mengerutkan keningnya. "Sang Surya sudah terbit dan menanyakan hujan?"
Lelaki itu mengangguk. "Panjang ceritanya. Yang pasti dia akan membantu jika kau mengucapkan kalimat ini. Kau pergilah sekarang..."
***
Sang Surya sudah hampir tenggelam di ufuk Barat. Kiran memacu kudanya sambil merasakan hembusan angin yang seperti menggigit di wajah. Dalam kondisi normal dia akan menikmati dan merasakan bagaimana hembusan angin yang menerpa wajah. Namun kali ini tidak. Dia tak punya waktu untuk itu.

Dia melirik pemuda itu, yang terbaring menelungkup di atas si Putih. Kiran sendiri menunggang si Hitam. Si Putih dan si Hitam adalah sepasang kuda milik ayahnya.
Kiran terus memacu kudanya. Lengan kirinya memegang kendali si Putih. Tak lama lagi, pikirnya. Pendekar Padi Emas menetap di bukit Sangian, tepat di seberang lembah.
Kegelapan mulai menyelimuti persada ketika Kiran tiba di Bukit Sangian. Kediaman Pendekar Padi Emas nampak tegak menjulang. Rumah besar yang terbuat dari kayu. Di halaman nampak enam kereta kuda yang sedang dimuati hasil bumi. Pendekar Padi Emas, menurut penuturan ayahnya adalah saudagar yang setiap pekan menjual hasil bumi ke Trowulan.
Seorang lelaki berwajah tirus menyambut.
"Kalian mencari aku?" Lelaki itu berkata tanpa basa-basi.
"Apakah aku berhadapan dengan Pendekar Padi Emas?"
Lelaki itu mengangguk. Wajahnya dingin. Matanya tajam namun dingin.
"Namaku Kiran, aku datang dari Dukuh Wening. Eh, aku diutus ayahku. 'Sang Surya sudah terbit dan menanyakan hujan'..." Kiran berkata ragu.
Mata lelaki itu menyipit ketika mendengar kalimat terakhir.
"Kita bicara di dalam..."
Kiran mengikuti Pendekar Padi Emas memasuki ruangan yang seluruhnya terbuat dari kayu. Aroma hasil bumi memenuhi ruangan.
"Ceritakan siapa kamu dan siapa lelaki yang terluka itu..."
Dengan cepat Kiran menceritakan tentang pekerjaannya sebagai tabib dan bagaimana beberapa orang membawa lelaki yang terluka itu untuk diobati dan tentang kabar bahwa ada Bhayangkara Biru yang sedang mencarinya.
"Bhayangkara Biru? Yang kau maksudkan Bhayangkara Biru yang itu?"
Kiran mengangguk, mulai merasa tidak enak.
"Mereka, Bhayangkara Biru hanya mengejar penjahat bukan? Jadi kenapa aku harus membantu seorang penjahat?"
Kalimat lelaki itu begitu dingin, membuat Kiran termangu. Tak tahu harus berkata apa.
"Jika menyangkut Bhayangkara Biru, dengan sangat menyesal aku tak bisa membantu. Maaf, aku sedang banyak urusan. Aku harus mengangkut hasil bumi ke Trowulan..."
Dan Pendekar Padi Emas berbalik, meninggalkan Kiran yang berdiri terpaku. Kiran merasa matanya panas... (bersambung)
Labels: darah di wilwatikta, Pendekar Padi Emas, sang Surya
salam kenal......... :)
eps berikutnya mungkin udah ada adegan laganya :)
makasi ya ~k
makasi udah mampir ya, salam kenal juga ;) ~k
makasi ya Len ;) ~k
pendekar padiemas sudah mulai action, sepertinya :)
mudah2an ada kisah cemburu di cerita ini, heheh!
tentang si hitam dan si putih, itu hanya merujuk ke warna bulu mereka aja. kan gak mungkin kuda berwarna putih lalu dinamai si Biru kan? hehehe ;)
Btw gagak rimang dan rangga seta, perasaan pernah dengar deh. di mana ya? :)
** masih baru jadi ikuti dulu alur crita disini.. :)
tp kalu mo baca sebaiknya jangan dimulai di eps 5, hehehe ;) ~k