Eps 24. Hati Yang Retak

Udara tetap sejuk walau hari merangkak siang.

Sunyi terasa di sekitar pondok milik Putri Harum Hutan yang berada di balik sebuah air terjun. Keenam orang yang berada disana melakukan kegiatan masing- masing tanpa banyak bicara.

Setelah beberapa lama berlalu seperti itu, kesunyian tersebut dipecahkan oleh sang pemilik pondok.

“ Dara Biru, “ Putri Harum Hutan menoleh pada salah satu dari ketiga Dara, “ Ambil persediaan uang untuk perjalanan kita. Ambillah tiga kali lipat biasanya, sebab aku belum tahu pasti kemana kita akan menuju dan apakah kita akan melalui tempat- tempat dimana persediaan uang kita disimpan.”

Dara Biru mengangguk. Dia menuju ke sebuah pojok di dalam pondok dan kembali mendekati Putri Harum Hutan diiringi suara gemericing. Seperti yang diperintahkan oleh Putri Harum Hutan, diambilnya sejumlah mata uang emas dan perak, juga uang dari perunggu yang didatangkan dari Tiongkok yang disebut dengan uang kepeng untuk bekal di perjalanan.

Dada Kiran berdesir.

broken-heart



Eps 23. Melaksanakan, Bukan Mempertanyakan...

ANGIN berbisik lirih, seperti ingin mengusir rasa penat yang mengguyur keenam sosok yang duduk bersila. Mereka, lima lelaki dan satu perempuan tenggelam dalam keheningan. Mereka duduk di halaman berdebu, yang mengeras oleh pijakan kaki selama bertahun-tahun.

Mereka bersila di atas potongan kulit kambing yang dikeringkan, dan duduk berdasarkan urutan. Seperti yang sudah berlaku sejak hampir satu setengah tahun terakhir, ada satu potongan kulit kambing yang kosong. Tempat yang seharusnya diduduki Dhanapati, orang kelima di Bhayangkara Biru.

***



Seorang lelaki masuk, penuh kharisma, yang memaksa keenam sosok itu menengadah. Dia berwajah agung, paduan antara ketegasan dan keanggunan, dengan mata setajam elang dengan rahang yang kokoh.

Lelaki itu bertubuh tegap dan gagah, bagai beruang muda yang lapar. Dia mengenakan pakaian mewah  yang bagian dada kiri bersulam burung Garuda mengepakkan sayap. Mengenakan pakaian dengan sulaman burung Garuda adalah ide Bhagawan Buriswara, lelaki gagah itu, beberapa saat setelah ditunjuk Yang Mulia Mahapatih mengepalai Bhayangkara Biru, organisasi ‘rahasia’ yang bertugas memburu para musuh kerajaan dan musuh masyarakat.

Ide yang diungkap Bhagawan Buriswara awalnya dianggap sebagai keanehan. Saat itu, masyarakat Majapahit belum terbiasa mengenakan busana untuk tubuh bagian atas. Pria, wanita, bangsawan hingga rakyat jelata umumnya hanya mengenakan busana sebatas pinggang. Bagian atas dibiarkan terbuka. Para perempuan umumnya melengkapi tubuh bagian atas dengan sejumlah perhiasan, seperti kalung beraneka bentuk.

Bhagawan Buriswara ingin Bhayangkara Biru menjadi kelompok elit yang tak hanya dikenal karena perbuatan, namun juga oleh penampilan. Dia memberi warna baru untuk sebuah organisasi yang seharusnya rahasia, dan secara hukum tidak pernah diakui keberadaannya.

***



Bhagawan Buriswara duduk di sebuah batu kecil setinggi dua jengkal. Dan menatap keenam anggotanya. Mereka nampak letih, padahal Sang Surya baru saja terbit dari peraduannya.

“Jadi, Dhanapati masih hidup?” Buriswara membuka percakapan. Suaranya menggelegar. “Bagaimana mungkin seseorang yang terluka parah, yang sebelah kakinya sudah berada di akhirat bisa lolos dari kejaran dua anggota Bhayangkara Biru?” Bhagawan Buriswara menatap Brontoseno dan Kebo Wungu.

Eps 22. Kelopak Bunga Teratai

KAPUK putih melayang di angkasa.

Bersamaan dengan itu, kulit buah kapuk yang keras beterbangan menyerang ke satu tujuan.

Kiran.

Tapi Kiran saat itu telah terbungkus aman di dalam tameng berbentuk kepompong yang terbentuk dari selendangnya. Kulit buah kapuk itu berjatuhan setelah memantul di bungkus berbentuk kepompong tersebut.

Putri Harum Hutan mengibaskan tangannya lagi. Kali ini, duri- duri tajam beterbangan dari segala penjuru ke arah kepompong kain selendang yang membungkus Kiran.

Dhanapati menanti. Ditatapnya duri yang beterbangan itu. Jumlahnya begitu banyak dengan ketajaman dan kepanjangan yang beragam. Mungkinkah duri- duri itu akan dapat menembus kepompong selendang sutra Kiran?

Tiba- tiba, saat duri- duri tersebut berjarak sekitar dua tombak dari kepompong sutra, kepompong tersebut membuka dengan cara yang sungguh indah.

teratai



Kepompong itu membelah membuka serupa bunga teratai yang sedang mekar. Kiran berdiri di tengah- tengahnya, memegang sebuah kipas yang terbuka lebar..

Eps 21. Keharuman Pagi Berwarna Pelangi

SINAR Sang Surya mengintip malu- malu dari balik dedaunan.

Dasar jurang dimana Kiran dan Putri Harum Hutan sedang memasak itu terasa sejuk. Semilir angin pagi membelai pipi, dan menerbangkan anak- anak rambut. Gemuruh air terjun yang terdengar meningkahi sejuknya angin dan cericit burung membuat udara semakin dingin.

Tapi di dalam bilik bambu, pagi yang sejuk itu dibuka dengan kehangatan yang makin lama makin panas dan membara.

Dhanapati bertindak dengan sangat lembut dan hati- hati, tapi racun Paraga Gayuh Tresna rupanya terhirup sangat dalam oleh ketiga Dara.

Racun tersebut dengan cepat menyebar di seluruh aliran darah. Saat Dhanapati mendekat, Dara Merah menampilkan gerak dan bahasa tubuh sedemikian rupa yang dengan segera dapat menularkan aliran panas dan menggelitik pada seluruh tubuh Dhanapati.

Sementara itu tak jauh dari situ Dara Hijau dan Dara Biru duduk dengan sangat gelisah, tak sabar menanti.

kupu-pelangi1



Dara Merah menyerah dengan pasrah saat Dhanapati mulai menyentuh dan membelainya. Hangat nafas Dhanapati berpadu dengan hangat nafasnya sendiri. Kehangatan itu makin menjalar, menjalar, menjalar dan membara...

Sementara itu, sepasang kupu-kupu biru berkejaran di luar pondok, diantara harum bunga cempaka dan kenanga. Keharuman bunga- bunga itu berhamburan masuk menerobos bilik bambu dimana kenikmatan yang bergulung naik dan turun seperti ombak di samudera luas melemparkan jiwa ke awan- awan. Membubung tinggi, dan makin tinggi...

Gelombang itu bergulung lembut, menghangatkan rasa, lalu membara serta memanas ketika Dhanapati dan Dara Merah bergerak mendekat ke arah pijar Sang Surya. Pijar yang semakin panas kala mereka makin mendekat pada suatu titik ledak yang kemudian, saat mereka tiba di sana...

Blarrr...

Ledakan besar terjadi dan bintang-bintang berpendaran terhambur ke angkasa.

Berwarna-warni seperti percik bara api…

Eps 20. Erang Kenikmatan yang Menggoda

KIRAN merasakan kepungan Durgandini dan Rakyan Wanengpati makin ketat. Dengan sekuat tenaga dia bertahan. Kedua lengan yang masing-masing menggenggam selendang dan kipas digerakkan menurut Pasha Hakasa Papikat Rasatala (Jaring Langit Jala Bumi), jurus kesebelas dari ajian Sebya Indradhanu Paramastri.

Jaring Langit Jala Bumi adalah jurus untuk pertahanan. Gerakan kedua tangan mengeluarkan energi seperti  jaring, yang mampu menangkal semua serangan. Namun yang dihadapi Kiran kali ini adalah dua tokoh besar di dunia persilatan. Pengalaman mereka jauh dibanding Kiran.  Perbedaannya ibarat Gunung Batur dan Gunung Semeru. Kiran yang masih tergolong anak kemarin sore di kancah persilatan Jawadwipa kalah segalanya. Dalam sebuah kesempatan, tendangan Durgandini mampu menembus celah, dan mengena di perut.

Kiran berteriak kesakitan. Terlempar tiga tombak dan bergulingan di tanah.

“Sudah kami katakan, percuma melawan. Lebih baik kau ikut dengan kami dengan sukarela,” ujar Durgandini. Masih dengan suaranya yang bening. Dengan senyum manis. Bersama Rakyan Wanengpati, Durgandini mendekati Kiran yang terbaring di tanah.

Kiran merasa perutnya bergejolak. Organ tubuhnya terguncang. Tendangan Durgandini bukan tendangan biasa.

Namun dia tak mempedulikan rasa sakit. Dia justru menoleh ke  arah Dhanapati, dan terheran-heran melihat pemuda itu berdiri sambil menopang pedang. Entah bagaimana namun pemuda itu ternyata memenangkan pertarungan. Dhanapati hidup!!

Eps 19. Airmata Luruh Membasahi Neraka

FAJAR mulai menyingsing.

Pertarungan antara Kiran melawan Iblis Sapta Kupatwa masih berlangsung seru. Kiran yang dikeroyok, sama sekali tidak terdesak. Bahkan gadis cantik ini menjalani pertarungan dengan santai.

Setelah beberapa jurus, dia menyadari kalau ketujuh lawan ternyata tidak luar biasa. Jika mau, Kiran bisa mengalahkan mereka dengan mudah. Namun itu tidak dilakukan. Kiran sengaja menggunakan lawan untuk mengasah kemampuan.

Seumur hidup, ini untuk pertama kali Kiran terlibat dalam perkelahian, melawan pihak yang benar-benar merupakan musuh. Selama ini dia mengolah kanuragan dengan ayah dan dua saudara lelaki. Karena hanya berlatih, pertarungan tak pernah dilakukan dengan serius.

Berbeda dengan kali ini. Pihak lawan bermaksud menangkapnya. Dia menghadapi lawan yang nyata.

Dia mengeluarkan jurus demi jurus, melihat bagaimana lawan kerepotan, dan di saat terakhir, dia mengubah jurus, tidak mau melukai lawan.

Kiran, yang masih menikmati pertarungan, kaget ketika melihat Dhanapati sudah berada di halaman. Lelaki itu berdiri siaga dengan pedang yang menyeret tanah.

Kenapa Dhanapati tiba-tiba keluar dari pondok? Pemikiran itu membuat Kiran memutuskan untuk secepatnya mengakhiri pertarungan, sebelum salah satu anggota Iblis Sapta Kupatwa menyerang Dhanapati!!

Eps. 18 Jawab Hujan Bagi Sang Surya

MALAM memeluk pekat di Trowulan.

Lidah api kecil di lampu cempor bergerak- gerak perlahan.


Di pojok kedai Pawon ManteraKata dua orang perempuan dan seorang lelaki terus berbincang, tanpa menghiraukan peringatan pemilik kedai bahwa kedai tersebut telah tutup. Suara tawa genit terdengar ditingkahi beberapa bisik dan gelak tawa.


Mbakyu Tri, pemilik kedai tersebut melangkah mendekati meja pojok untuk sekali lagi mengingatkan ketiga orang yang duduk di sana bahwa kedainya betul- betul sudah hendak ditutupnya sekarang.


Langkahnya tertahan saat dia mendengar beberapa buah kata disebutkan dalam percakapan di meja pojok itu.



Diurungkannya niat untuk menghampiri ketiga orang itu. Dibelokkannya langkahnya ke meja di samping mereka. Mbakyu Tri berpura- pura membereskan meja itu. Dibenahinya letak kain penutup meja. Digesernya wadah keramik berisi setangkai kembang sepatu merah sambil terus menajamkan telinga.

Dada mbakyu Tri berdebar. Dia telah menemukan apa yang dicari selama ini...



Eps 17. Kumbang Ganas Menggagahi Kembang

KETENANGAN. Dan ketepatan. Itu kunci dalam ilmu beladiri. Dan itu yang dilakukan Kiran. Dalam jurusnya yang pertama dia berhasil membuat lawan tak berdaya. Terbelit selendang.

Enam anggota Iblis Sapta Kupatwa terkejut bukan main melihat rekan mereka tak berdaya, mirip seperti tikus yang terjebak. Tak bisa bergerak.

Nyaris serentak keenam lelaki itu melompat. Tiga menyerang Kiran, tiga lainnya mendekati rekannya guna membantu membebaskan.

Dan kembali Kiran memperlihatkan ketenangan. Dengan dingin dia memutar tubuh. Di saat bersamaan dia melontarkan lelaki yang terbelit ke arah tiga rekannya.

Eps 16. Selendang Pelangi Para Bidadari

CAHAYA bulan menerobos di sela pepohonan.



Kiran bergerak maju dan meraih kait pintu. Didorongnya pintu itu hingga terbuka dan dia melangkah maju.

Tujuh orang lelaki yang berada di halaman sekitar Pondok Harum terpana sejenak. Sesaat lalu mereka masih berunding memikirkan cara untuk menyerbu masuk ke dalam pondok. Sama sekali di luar dugaan bahwa pintu pondok itu akan sengaja dibuka dari dalam seperti itu.

Seorang gadis berdiri di depan pintu. Rambutnya terikat menjadi satu di belakang kepalanya. Beberapa kuntum melati terselip di sekitar ikatan itu.

Dia berdiri di sana tanpa bicara. Diam menanti.

Angin berdesir halus di sekitar, membuat selendang sutra halus di pinggangnya bergerak perlahan. Cahaya bulan menyentuh selendang itu. Selendang itu berpendar mengeluarkan cahaya berwarna pelangi…

Eps 15. Para Pembawa Kegelapan

PETANG melarut menuju malam di Trowulan.

Sudah waktunya kedai Pawon ManteraKata tutup. Kedai itu memang hanya buka hingga petang hari.



Begitu Pendekar Codet, Matanaga dan Harimau Hitam meninggalkan kedainya, Hestrinaputri, sang pemilik kedai yang biasa disapa dengan nama Mbakyu Tri mulai membereskan peralatan makan serta cangkir- cangkir yang tersisa di atas meja. Setelah itu satu persatu kursi kayu digeser, dimasukkan ke bawah meja. Jendela- jendela juga mulai ditutup.

Dia baru saja hendak menutup pintu ketika tiga orang tamu menerobos masuk.


Mbakyu Tri menyambut tamunya dan berkata, “ Nyuwun sewu, maaf, tapi kedai ini sudah hendak tutup. “



Tiga orang tamu itu menoleh tapi tak memperdulikan apa yang dikatakannya. Persis seperti yang telah diduga sebelumnya. Ketiganya terus masuk ke dalam kedai dan duduk di sebuah bangku yang terletak di pojok kedai.

Mbakyu Tri mematikan beberapa lampu cempor, berharap bahwa mereka mengerti isyaratnya dan segera meninggalkan tempat itu tanpa dia harus mengatakan apa- apa lagi.


Tapi sama dengan yang telah beberapa kali terjadi sebelumnya, ketiga tamu itu tak perduli.

Eps 14. Bergerak dalam Diam

KEDUA lelaki itu saling pandang, berdiri dalam beku. Samar terdengar bunyi binatang hutan yang berpadu dengan gemercik sebuah pancuran kecil. Selebihnya hening. Hening yang mengandung hawa maut.

“Selama ini, aku, Panca Mahnakhah Mrityu (Lima Cakar Maut) tak pernah bersimpang jalan dengan Pendekar Harimau Hitam. Kenapa pendekar menghadang aku?” Seorang lelaki berusia 50-an tahun, tanpa rambut di kepala, dengan jenggot putih memanjang yang mata kanannya ditutupi kain berujar dingin.

Pendekar Harimau Hitam menatap lelaki yang mengaku bernama Lima Cakar Maut, merasa heran dengan julukannya karena jelas dia seorang diri. “Sahaya tak bermaksud menghadang siapa-siapa. Sahaya hanya bermaksud menolong seorang teman…”

“Apakah Putri Harum Hutan temanmu?”

“Sahaya mengenal Putri Harum Hutan. Dan dia mungkin mengenal sahaya. Namun kami bukan teman. Kami hanya dipersatukan oleh kepentingan yang sama…”

“Dan kau siap mati untuk seseorang yang bukan temanmu?”

“Sahaya siap mati karena membela yang benar, tak soal apakah dia teman atau tidak…”