KAPUK putih melayang di angkasa.
Bersamaan dengan itu, kulit buah kapuk yang keras beterbangan menyerang ke satu tujuan.
Kiran.
Tapi Kiran saat itu telah terbungkus aman di dalam tameng berbentuk kepompong yang terbentuk dari selendangnya. Kulit buah kapuk itu berjatuhan setelah memantul di bungkus berbentuk kepompong tersebut.
Putri Harum Hutan mengibaskan tangannya lagi. Kali ini, duri- duri tajam beterbangan dari segala penjuru ke arah kepompong kain selendang yang membungkus Kiran.
Dhanapati menanti. Ditatapnya duri yang beterbangan itu. Jumlahnya begitu banyak dengan ketajaman dan kepanjangan yang beragam. Mungkinkah duri- duri itu akan dapat menembus kepompong selendang sutra Kiran?
Tiba- tiba, saat duri- duri tersebut berjarak sekitar dua tombak dari kepompong sutra, kepompong tersebut membuka dengan cara yang sungguh indah.
Kepompong itu membelah membuka serupa bunga teratai yang sedang mekar. Kiran berdiri di tengah- tengahnya, memegang sebuah kipas yang terbuka lebar..
Kiran menggerakkan kipas tersebut ke arah duri- duri yang beterbangan, dan…
Jutaan duri itu tetap terbang dengan kecepatan yang sama, hanya saja seperti terhembus angin besar, duri- duri itu terbang ke arah yang berlawanan, kembali ke pepohonan darimana duri tersebut tadinya berasal.
Putri Harum Hutan memperhatikan duri- duri yang beterbangan kembali ke pohon itu. Senyum tipis yang membuat wajahnya yang dingin tampak melembut muncul sekejapan mata. Tak lama. Tapi Dhanapati dan Kiran dapat menangkap itu.
“ Ah, bagus sekali, “ Putri Harum Hutan berkata. “ Ajian Vyajana Paramastri ( Kipas Para Bidadari ) memang bukan nama kosong, rupanya… “
Kalimat itu kemudian disambungnya lagi, “ Cukuplah latihan kita hari ini. Mari kita sudahi dulu…”
Kiran, yang masih berdiri di tengah- tengah kepompong yang kini sudah berubah menjadi kelopak bunga teratai yang merekah menutup kipasnya dan mengatupkan kedua tangan di depan dada, tersenyum pada Putri Harum Hutan, kemudian bersamaan mereka berdua saling membungkuk memberi salam.
***
“ Indah sekali, Kiran… “ Dhanapati menyambut Kiran di tepi padang rumput.
Kiran melirik ke arah Dhanapati, tersenyum sekilas, tapi menghindari pandangnya.
Demikian pula dengan Putri Harum Hutan. Dia menghindari Dhanapati dan bergegas berjalan kembali ke pondok meninggalkan Kiran serta Dhanapati di belakangnya.
Sejenak Dhanapati bingung, tak mengerti akan sikap kedua orang perempuan itu. Tapi kemudian dia teringat pada apa yang baru saja terjadi di pondok, dan kemudian dia memahami apa yang terjadi.
Kiran berjalan tanpa bicara. Dia senang melihat Dhanapati ada di tepi padang rumput tempatnya berlatih tadi. Tapi dia sendiri agak bingung bagaimana harus bersikap. Dia tidak marah. Tidak bisa marah, karena dialah yang meminta Dhanapati melakukan semua hal yang dilakukannya tadi.
Apalagi itu dilakukan untuk pengobatan.
Paling tidak, itu menyelamatkan empat nyawa, pikir Kiran. Sebab jika Dhanapati tak melakukan hal tersebut, maka Putri Harum Hutan akan membunuh ketiga Dara dan juga telah bertekad akan membunuh Dhanapati.
Kiran berusaha menata hatinya sendiri…
***
Di dalam bilik berdinding bambu, ketiga Dara mulai terjaga.
Ketiganya saling berpandangan dengan bingung, tak dapat mengingat mengapa mereka ada di situ. Tak pula tahu apa yang telah terjadi.
Setengah sadar, mereka membenahi pakaian lalu menuju ke belakang pondok.
Tidak ada siapapun di sana, tapi ada wadah berisi masakan yang telah matang.
Mereka menengok kesana kemari dan kemudian setelah beberapa lama mereka melihat Putri Harum Hutan yang sedang berjalan menuju pondok.
“ Uh… Eh… Tuan Putri, maafkan kami, “ Dara Biru tergagap menyambut Putri Harum Hutan, “ Kami tertidur rupanya. Maaf Tuan Putri. “
Putri Harum Hutan menoleh sekilas lalu tanpa menunjukkan perasaan apapun menyuruh ketiga Dara tersebut untuk mandi membersihkan diri sebab sebentar lagi senja. Kalimat itu disambungnya dengan perkataan bahwa dia meminta ketiganya untuk setiap hari menemani Kiran dan Putri Harum Hutan berlatih silat.
“ Kita berempat akan ada di satu sisi berlatih melawan Putri Kiran. “
Tiga dara itu mengangguk.
Dara Merah tiba- tiba teringat sesuatu. “ Bagaimana dengan Dhanapati? “
“ Dhanapati belum sembuh, “ jawab Putri Harum Hutan. “ Dia belum akan ikut berlatih. Jika dia telah pulih nanti, dia akan berlatih bersama kita. “
Dara Merah, tanpa mengerti kenapa, merasa pipinya panas. Kedua Dara lain menunjukkan sikap senang.
“ Jadi kita berlima akan berlatih melawan Putri Kiran? “ tanya Dara Hijau.
Ketiga Dara itu tampak sangat kecewa ketika Putri Harum Hutan, masih dengan nada yang dingin menjawab, “ Tidak, kita berempat akan berlatih melawan mereka berdua. “
Sementara itu, Kiran dan Dhanapati menyusuri jalan setapak melangkah perlahan menuju pondok.
Kiran mengamati Dhanapati saat lelaki itu memetik beragam bunga dalam perjalanan mereka pulang tanpa mengatakan apa- apa. Dhanapatilah yang memecahkan kebisuan diantara mereka.
“ Aku akan bersemedi malam ini. Esok adalah hari lahirku, “ kata Dhanapati.
Kiran mengangguk.
“ Di dekat air terjun, “ Dhanapati berkata lagi.
Oh. Di dekat air terjun?
Kiran menatap Dhanapati. Tadi tak terpikir olehnya bahwa Dhanapati akan melakukan itu diluar pondok. Baru disadarinya kemudian bahwa tentu Dhanapati menghendaki suasana yang tenang saat bersemedi. Biasanya mereka hanya berdua, Dhanapati dan Kiran, tapi malam ini di pondok akan ada tambahan empat orang lain, Putri Harum Hutan dan ketiga Dara.
“ Aku ikut, “ kata Kiran.
“ Aku disana sampai esok hari, “ komentar Dhanapati.
“ Aku tahu, “ jawab Kiran. “ Aku ikut. “
Dhanapati mengangguk. “ Baiklah. Nanti kita berpamitan dulu pada Putri Harum Hutan. “
***
Putri Harum Hutan mengangguk ketika Dhanapati mengatakan dia akan bersemedi di dekat air terjun malam ini. Juga mengangguk sekali lagi ketika Kiran mengatakan dia akan menemani Dhanapati disana.
“ Hati- hati, “ itu saja yang dikatakannya pada Kiran.
Ketiga Dara saling berpandangan, tersenyum kecil dan memberi isyarat satu sama lain. Dara Merah, yang paling berani diantara mereka, membuka mulutnya, tapi belum sampai suaranya keluar, Putri Harum Hutan telah berkata tegas, “ Kalian bertiga tinggal dengan aku di pondok ini. Ada tugas yang harus kalian kerjakan malam ini. “
Tak punya pilihan, ketiga Dara mengangguk tanpa membantah. Sekali- sekali mereka melirik Dhanapati, sementara Kiran dan Dhanapati berpura- pura tak melihat apa yang terjadi.
***
Senja turun menyapa hari.
Kiran berjalan meniti bebatuan di sungai bening yang mengalir tak jauh dari pondok. Dia dan Dhanapati dalam perjalanan menuju air terjun.
Bebatuan itu licin. Dan pada suatu saat, Kiran terpeleset. Dhanapati yang berjalan di belakangnya dengan sigap menangkap tubuh gadis itu. Lalu segera melepaskannya kembali setelah Kiran berdiri ajeg.
“ Terimakasih, “ kata Kiran.
Dhanapati mengangguk tersenyum. Sejenak kemudian dia mengulurkan tangan, menawarkan pada Kiran untuk menggandengnya selama meniti bebatuan.
Kiran merasa dadanya berdebar keras. Dia tak berani menatap Dhanapati, tapi diulurkannya pula tangannya, membiarkan Dhanapati menggenggam tangan itu. Dan begitulah, bergandengan tangan, mereka menuju sebuah tempat yang agak datar di dekat air terjun.
Tempat itu indah sekali. Ada tebing batu tinggi berbentuk bulat yang mengelilingi air terjun itu, sehingga tempat itu seakan sebuah sumur dalam dengan air terjun di sebuah sisinya sementara anak sungai mengalir menembus tebing batu itu. Di beberapa tempat di sungai yang tenang tersebut, tampak bunga teratai bermekaran.
Sejenak, bunga teratai mekar itu mengingatkan Dhanapati pada apa yang disaksikannya tadi, saat Kiran berdiri anggun memegang kipas, menggunakan ajian Vyajana Paramastri untuk menghalau duri.
Kiran dan Dhanapati, masih bergandengan tangan, memilih sebuah batu datar yang lebar, dimana mereka berdua kemudian duduk berdampingan. Dhanapati meletakkan wadah berisi tujuh macam bunga harum yang tadi dipetiknya disana, tak jauh dari tempat mereka duduk.
Malam itu, mereka berdua duduk bersisian.
Dhanapati memejamkan mata, bersemedi dalam memuja para Dewata.
Kiran juga memejamkan mata, memusatkan pikiran untuk memuja Dewata serta mendoakan orang- orang yang dikasihinya. Dalam doanya, Kiran menyelipkan nama Dhanapati, meminta pada Dewata agar mereka melindungi Dhanapati, memberikan kesehatan serta keselamatan dan melimpahkan banyak berkah baginya.
***
Diam tak bergerak bersemedi sepanjang malam, sentuhan matahari pagi dan cericit burunglah yang membuat mereka berdua membuka mata.
Kiran merentangkan lengan lalu mengatupkan kedua tangannya di depan dada. Begitu pula yang dilakukan Dhanapati. Mereka menggenapkan semedi mereka.
Setelah itu, Kiran menoleh menatap Dhanapati. Pada saat yang sama, Dhanapati menatap Kiran.
Dan getar itu muncul lagi…
Kiran memalingkan mukanya dengan rikuh, sebab getar itu terasa sangat kuat. Entah kenapa, dia sungguh ingin memeluk Dhanapati. Tapi dia malu. Sementara itu Dhanapati menatap Kiran dari samping. Gadis ini cantik, pikirnya. Dan menyenangkan. Juga baik hati.
Dhanapati sungguh ingin memeluk Kiran.
Tapi tak dia lakukan itu.
Air memercik dari ketinggian, membasahi rambut mereka berdua. Sinar Sang Surya menimpa air sungai dan percik air. Tampak seberkas pelangi di hadapan mereka. Letaknya rendah, hanya sekitar satu tombak dari permukaan air sungai.
Kiran menatap pelangi tersebut dengan takjub. Dia memang selalu menyukai pelangi. Apalagi pelangi ini berada begitu dekat dan begitu rendah di depannya…
Dhanapati membiarkan Kiran bersikap seperti itu sebentar, lalu setelah itu diulurkannya tangannya. Kiran menyambut tangan Dhanapati dan membiarkan Dhanapati membantunya berdiri. Bergandengan tangan meniti bebatuan di sungai kecil yang bening itu, mereka berdua kembali ke Pondok Putri Harum Hutan…
( bersambung )
** gambar diambil dari: pgsgrow.com & www.saintlouiswatergardeningsociety.org **
Labels: air terjun, darah di wilwatikta, hari lahir, kipas, semedi, teratai
Apakabar nih para pendekar?
sangad ingin bisa berada disana,mendengar gemericik air,terlebih bersama pelangi ** ngileerr.. :D