Udara tetap sejuk walau hari merangkak siang.
Sunyi terasa di sekitar pondok milik Putri Harum Hutan yang berada di balik sebuah air terjun. Keenam orang yang berada disana melakukan kegiatan masing- masing tanpa banyak bicara.
Setelah beberapa lama berlalu seperti itu, kesunyian tersebut dipecahkan oleh sang pemilik pondok.
“ Dara Biru, “ Putri Harum Hutan menoleh pada salah satu dari ketiga Dara, “ Ambil persediaan uang untuk perjalanan kita. Ambillah tiga kali lipat biasanya, sebab aku belum tahu pasti kemana kita akan menuju dan apakah kita akan melalui tempat- tempat dimana persediaan uang kita disimpan.”
Dara Biru mengangguk. Dia menuju ke sebuah pojok di dalam pondok dan kembali mendekati Putri Harum Hutan diiringi suara gemericing. Seperti yang diperintahkan oleh Putri Harum Hutan, diambilnya sejumlah mata uang emas dan perak, juga uang dari perunggu yang didatangkan dari Tiongkok yang disebut dengan uang kepeng untuk bekal di perjalanan.
Dada Kiran berdesir.
Putri Harum Hutan bersungguh- sungguh dengan ucapannya untuk mengajak mereka segera pergi dari sini rupanya. Mereka, termasuk Kiran, tapi tanpa Dhanapati.
Kiran saat itu berada di pojok lain pondok tersebut. Dia sedang mengobati Dhanapati yang duduk memunggunginya. Tangannya bergerak- gerak, tapi tak ada suara yang keluar dari mulutnya.
Putri Harum Hutan melirik Kiran yang bekerja sambil diam membisu. Sejenak, ada rasa nyeri terasa di dalam hatinya.
Dia bukan tak mengerti apa yang mulai tumbuh di hati Kiran. Tapi tak ada pilihan, mereka memang harus pergi, tanpa Dhanapati.
Kiran mungkin tak tahu, tapi Putri Harum Hutan memiliki tugas. Dia adalah bagian dari Para Pelindung Yang Tersumpah, dan sebab Sang Surya Telah Terbit Menanyakan Hujan, maka tugasnya hanya satu: melindungi dan menyelamatkan Kiran dengan segenap daya upaya. Bagaimanapun caranya.
Termasuk jika itu harus memisahkan Kiran dengan Dhanapati.
Rasa nyeri menusuk lagi di dalam hati Putri Harum Hutan. Parasnya yang cantik sekilas tampak sendu, tapi hanya sesaat. Tak lama kemudian wajahnya telah menunjukkan kebekuan seperti biasa. Dingin dan beku yang disebabkan suatu peristiwa dulu, bertahun- tahun yang lalu.
Peristiwa yang sangat ingin dilupakannya, tapi tak juga pernah terlupa.
Peristiwa ketika dia harus menyaksikan lelaki yang dikasihinya pergi…
Dan tak pernah kembali.
Luka di hati itu tak pernah sembuh rupanya, dan merencanakan perpisahan seperti ini membuat basah luka itu terasa berdenyut nyeri.
Putri Harum Hutan teringat pada kekasihnya, seorang lelaki yang mencuri hatinya dulu. Dia tampan, dan baik hati. Kesalahan lelaki itu hanya satu. Satu saja. Tapi yang satu itu tak dapat diperbaiki baik oleh sang lelaki maupun Putri Harum Hutan.
Sebab kesalahan itu bukan dibuat oleh mereka. Kesalahan itu dibawa sejak lahir. Perbedaan kasta.
Lelaki tersebut adalah prajurit rendahan di kerajaan.
Kedekatan itu dengan segera ditentang oleh seluruh keluarga Putri Harum Hutan. Tapi mereka tak perduli. Kasta tak dapat mengalahkan rasa cinta. Dan keluargapun berunding. Prajurit kekasih Putri Harum Hutan dikirimkan pergi berperang.
Putri Harum Hutan menangis berhari- hari saat itu. Dan ketika pada akhirnya dia telah terlalu lelah menangis, diterimanya kenyataan itu. Kekasihnya pergi berperang, dan akan dinantinya dia sampai kembali.
Tapi lelaki itu tak pernah kembali. Mimpi- mimpi indah yang telah dirajut tak pernah terwujud.
Sebab kekasihnya tewas dalam peperangan. Bahkan jasadnyapun tak pernah kembali.
Hati Putri Harum Hutan hancur. Dia tak pernah mau membuka hati bagi lelaki lain. Tak terhitung banyaknya putra keluarga bangsawan kerajaan meminang, tak satupun diliriknya.
Cintanya telah terkubur, tak akan tergantikan.
Dia hidup hanya untuk menanti mati. Dengan suatu harapan bahwa pada suatu saat kelak, pada hidupnya yang berikut, dia akan bertemu lagi dengan titisan kekasihnya dan kelak mereka akan melanjutkan membangun mimpi- mimpi yang tertunda.
***
“ Berbaliklah…”
Dhanapati menoleh. Dia mendengar Kiran bersuara, tapi tak didengarnya jelas suara itu. Suara itu kecil, nyaris tak terdengar dan tertahan dalam.
Di pojok lain, Putri Harum Hutan bangkit dari duduknya dan memberi isyarat pada ketiga Dara untuk mengikutinya keluar pondok. “ Temani aku mencari buah- buahan, “ katanya .
Ketiga Dara mengikutinya tanpa banyak bertanya.
“ Berbaliklah, “ Kiran berkata lagi pada Dhanapati.
Dhanapati membalikkan badan dan bersila. Kini dia dan Kiran duduk saling berhadapan. Kiran masih terus menggerakkan tangan mengobati Dhanapati dengan mata tertutup.
Dhanapati memperhatikan gadis itu, dan dengan segera dia tahu, Kiran menangis. Dia memejamkan matanya bukan semata agar dapat memusatkan pikiran, tapi lebih agar dapat menyembunyikan air matanya.
Selama sekian lama diobati oleh Kiran, Dhanapati tahu bahwa Kiran tak harus berdiam diri saat melakukan pengobatan. Tidak juga harus menutup matanya. Dia dapat melakukan pengobatan itu sambil bicara. Kiran pernah pula menceritakan pada Dhanapati bahwa dia senang mengobati anak kecil sebab pengobatan itu bisa dilakukannya sambil mengobrol dan bermain dengan anak- anak itu.
Tapi hari ini Kiran begitu diam. Sejak Putri Harum Hutan mengatakan bahwa mereka harus pergi tanpa Dhanapati, Kiran tampak murung.
“ Kemana kita akan pergi? “ tanya Kiran tadi pada Putri Harum Hutan. “ Aku mau kembali ke Dukuh Wening saja, “ katanya lagi.
Dhanapati menggelengkan kepalanya dengan takjub saat mendengar apa yang dikatakan gadis itu. Hal ini adalah bagian dari kepolosan Kiran. Bahkan setelah apa yang terjadi sebelumnya, ketika kelompok yang bernama Iblis Sapta Kupatwa, juga Durgandini dan Rakyan Wanengpati berusaha membawanya pergi, yang diinginkan Kiran sekarang jika tak lagi dapat tinggal di Pondok Putri Harum Hutan hanyalah kembali ke rumahnya.
Adik kecil, pikir Dhanapati, kau pasti tak mengerti apa bahaya yang menantimu.
Begitu tahu bahwa Kiran menguasai ajian Sebya Indradhanu Paramastri, Dhanapati sudah dapat menduga mengapa ada pihak- pihak yang ingin menculik gadis itu. Dan dengan heran dia mendapati bahwa Kiran sendiri seperti tak menyadari hal tersebut. Dhanapat tak bertanya, tapi dia menduga bahwa ada hal- hal yang menyangkut diri Kiran yang selama ini belum pernah diberitahukan pada gadis itu sendiri.
Karena itulah dia tampak begitu polos dan naif.
“ Kiran… “ ujar Dhanapati lembut.
Kiran seakan tak mendengar, dia terus mengobati Dhanapati dengan mata tertutup..
“ Kiran, “ kali ini Dhanapati berkata sambil menyentuhkan jemarinya pada tangan Kiran yang kebetulan sedang bergerak ke arah tangannya.
Sentuhan itu ringan, dan hanya sejenak. Tapi Kiran langsung berhenti mengobati. Dan juga membuka matanya.
Seperti yang telah diduga Dhanapati, ada air tergenang disana…
***
“ Kau belum sembuh, “ Kiran berkata. Suaranya tertahan, patah- patah dan terdengar parau.
“ Aku ingin mengobatimu hingga sembuh, “ kata Kiran lagi. Air mata yang sejak tadi tergenang mulai menetes.
Dhanapati menghela nafas.
“ Kiran, “ katanya dengan lembut, “ Aku berterimakasih padamu. Seumur hidup aku akan berhutang nyawa. Tapi Putri Harum Hutan benar. Kita harus pergi dari sini. Tempat ini tidak aman. Dan kalian harus pergi ke arah yang berbeda dengan aku… “
Kiran tak menjawab. Ditatapnya Dhanapati dengan air mata yang terus mengalir.
“ Ta..pi… “ Kiran menghela napas. “ Ta… pi… ke…na… pa ? “
Dhanapati menggenggam tangan Kiran dengan jemarinya. Gadis itu membiarkan hal tersebut terjadi.
“ Karena, “ Dhanapati menjawab perlahan dan hati- hati, “ Karena.. hanya dengan cara itulah kita berdua akan dapat tetap hidup…”
Kiran menatap lelaki gagah di depannya. Ditatapnya lelaki itu dengan pandangan polos, bening dan tak mengerti.
Dhanapati menarik napas panjang. Dia mengelus kepala Kiran lalu merengkuh gadis itu kedalam pelukannya. Air mata Kiran mengalir tak terbendung, membasahi dada Dhanapati…
( bersambung )
** gambar diambil dari free-extras.com **
Labels: darah di wilwatikta, kekasih, perang, perpisahan, tewas
kata2nya tidak cengeng, tapi sedih membacanya. alur yg mengalir indah...*ah terpaksa nunggu lg* gregretan hehe...
^perpisahan selalu menghadirkan luka, dan cerita yg terpotong selalu memancing penasaran^ :)
^aku jaid berkaca2 baca eps ini. jadi ingat ketika aku berpisah dengan kekasihku di planet xuxaxaja :mrgreen: ^
tapi cinta,tak memandang itu,ia lahir dengan sendirinya..aakh..
** lah kok malah menjelaskan pada uni :D
peacee uni :)
menunggu mati...
kak dee,kak kuti...jadi penasaran ama endingnya ..:)
emm..alur yang indah,pandai merobek hati pembaca trutama aku :oops:
hiks.. :'(