DI puncak pohon tertinggi, Putri Harum Hutan mengamati sekitar. Mencoba mencari petunjuk. Namun hutan begitu luas. Bagaimana dia bisa mendapatkan jejak Kiran?
Putri Harum Hutan terus mengamati, mencoba mencari pertanda. Kiran hilang belum begitu lama. Jadi seharusnya penculik itu masih belum jauh.
Dan tiba-tiba, di sebelah timur, Putri Harum Hutan melihat sekelompok burung yang terbang berhamburan. Seperti dikagetkan oleh sesuatu.
Mata Harum Hutan bersinar. Mungkin itu petunjuk. Pasti ada alasannya kenapa burung-burung itu terbang seperti ketakutan. Tentu, bisa saja mereka terbang karena faktor lain. Namun tetap ada peluang bahwa burung-burung itu kaget karena ada orang yang melintas.
Harum Hutan segera melompat. Mengerahkan laghima sarira yang membuatnya seperti terbang.
Kakinya yang mungil berkali-kali menjejak puncak pepohonan, menapaki ranting dan semak belukar. Dia dapat merasakan hembusan angin yang menerpa wajah.
Dan akhirnya dia tiba di tempat yang diperkirakannya menjadi lokasi yang membuat burung-burung terbang ketakutan.
Dia mengamati sekeliling.
Dan tidak percuma Putri Harum Hutan menghabiskan sebagian besar waktunya di hutan. Dia bisa mengetahui apa saja yang tidak wajar. Seperti rebahan semak belukar atau ranting pohon yang patah. Dia bisa mengetahui apa ciri-ciri semak yang rebah karena diterjang binatang, karena angin dan karena dilewati manusia. Dan dari bentuk rebahan, Harum Hutan menyimpulkan bahwa ada seseorang yang melewati semak ini. Karena semaknya masih segar, dipastikan waktunya belum lama.
Putri Harum Hutan berjalan mengikuti arah patahan semak. Dan tiba-tiba matanya melihat sesuatu yang bersinar. Ternyata gelang yang terbuat dari batu kecil. Gelang milik Kiran!! Dia tahu persis karena beberapa kali melihat gelang ini ketika Kiran mengobati Dhanapati.
Putri Harum Hutan tersenyum girang. Gelang ini pasti sengaja dijatuhkan Kiran untuk menuntunnya. Kiran pasti tahu bahwa Putri Harum Hutan tak akan tinggal diam.
Semangat gadis itu bangkit. Dia kini berada di jalur yang benar!!
"Putri Harum Hutan, berhenti dulu!!"
Seorang laki-laki gagah perkasa tiba-tiba sudah berdiri di depan Putri Harum Hutan. Dia mengenakan pakaian kasar sederhana. Rambutnya panjang sebahu dan diikat kain berwarna hitam di dahi. Dia memegang sebilah pedang hitam kasar berkarat yang diletakkan di bahu.
"Ah, Pendekar Matanaga," Putri Harum Hutan berseru girang. "Ternyata kau. Kebetulan sekali. Kiran diculik. Ayo kita kejar penculiknya..."
"Aku sudah tahu kalau Kiran diculik," balas Matanaga. Tatapannya dingin.
Labels: berkhianat, darah di wilwatikta, luka
PEMUDA itu perlahan menyeruput tuaknya, dan melirik. Jadi mereka itu yang disebut sebagai penghuni Padepokan Rumahkayu, pikirnya. Sekilas, mereka tak berbeda dengan orang kebanyakan. Nyai Daunilalang terlihat seperti ibu biasa. Mengenakan kemben berwarna biru, dia terlihat berbicara sambil sesekali tertawa lepas dengan mbakyu Tri. Sementara Pendekar Misterius, menyesuaikan diri dengan julukannya. Dia tetap mengenakan caping lebar yang membuat wajahnya tak terlihat. Dia juga terlihat lebih banyak menundukkan kepala.
Penghuni Padepokan Rumahkayu mendatangi Pawon Manterakata. Apakah hanya kebetulan? Pemuda itu mencoba menajamkan telinga, mencoba mendengar percakapan. Namun yang diperbincangkan Nyai Daunilalang dan Mbakyu Tri hanya percakapan dua orang ibu yang mengagumi buah hati masing-masing.
Hmm, aku ingin tahu bagaimana reaksi Bhagawan jika mengetahui penghuni Padepokan Rumahkayu kini ada di Trowulan, pikir pemuda itu, yang tak lain adalah Sancaka, orang keenam di Bhayangkara Biru. Sancaka secara khusus ditugaskan Bhagawan untuk mengamati Pawon Manterakata.
Labels: caping, cerita silat, darah di wilwatikta, legenda, salah memilih musuh, silat, wayang golek
Suatu pagi di Padepokan Rumah Kayu…
Nyai Daun Ilalang sedang sibuk bebenah. Suaminya yang di kalangan pendekar dikenal dengan sebutan Pendekar Misterius serta putra sulungnya, Pradipta, membantu sebisanya.
Mereka akan turun ke kota hari ini. Ke Trowulan.
Nyai Daunilalang gembira. Sejak melahirkan bayi kembar beberapa bulan yang lalu, dia jarang sekali bisa keluar rumah. Dan belum sekalipun pergi lagi ke Trowulan.
Untunglah sesekali beberapa pendekar datang berkumpul di Padepokan Rumah Kayu, sehingga Nyai Daun Ilalang tetap dapat berhubungan dengan mereka.
Nyai Daunilalang menyiapkan payung dan kipas untuk membantu menghindari terik sang Surya nanti. Hari panas terus menerus akhir- ahir ini. Baru semalam setelah beberapa hari panas turun hujan sejenak.
Ah, binatang- binatang di sekitar sungai tentu senang sekali, pikir Nyai Daun Ilalang, teringat pada binatang- binatang yang hidup di anak sungai yang mengalir di belakang padepokan.
Dia juga teringat pada sebuah syair indah tentang kodok dan hujan.
pagi, kodok nyanyi-nyanyi berpesta
hujan semalam menjagakan mereka
dari kerontang kemarau
menerpa payau
Nyai Daun Ilalang terus menyiapkan beragam hal. Dicarinya simpanan jeruk dan jahe yang sudah dikeringkan. Dibungkusnya hati- hati. Mbakyu Tri, sahabatnya pemilik kedai Pawon ManteraKata pasti senang menerima jeruk-jeruk dan jahe kering yang jika ditaruh dalam wadah akan menebarkan wangi segar ke seluruh ruangan itu.
Dan begitulah. Pagi itu mereka menumpang kereta kuda pergi ke Trowulan.
Labels: darah di wilwatikta, kipas, kupu- kupu, sandi, surya, teratai
Malam itu malam biasa, sama seperti yang lain. Bunyi jangkrik bersahutan, ditingkahi suara burung hantu. Di angkasa bintang gemintang samar disaput mega.
Malam itu malam biasa, tapi tak seperti biasa, Kiran gelisah dalam tidurnya.
Pada suatu saat dia terjaga dengan mendadak dan dengan segera bangkit, tak lagi berbaring tapi duduk. Hatinya berdebar. Dia baru saja bermimpi. Dalam mimpinya itu, Dhanapati berpamitan padanya.
“ Adik kecil, “ begitu sapa Dhanapati dalam mimpinya tadi, “ Ku kan pergi sekarang. Tak kan kutemui dulu engkau, karena aku ingin kau lepaskan diri dariku. “
Kiran merasa dadanya berdegup kencang. Dia melihat sekeliling. Putri Harum Hutan dan ketiga Dara tampak tertidur lelap.
Kiran berjingkat pelan menuju pintu. Dibukanya pintu pondok perlahan. Begitu dia berada di luar pondok, dengan cepat pandangnya menyapu sebuah dipan di dekat pintu dimana tadi dia berharap akan mendapati Dhanapati sedang tidur.
Dipan itu kosong.
Labels: darah di wilwatikta, elang, kupu- kupu, pergi, perp, perpisahan
Eps. 26. Sesuatu yang Lembut menyentuh Bibir
4 comments Posted by Cerita Silat ala Rumah Kayu at 6:44 AMMalam itu malam biasa, sama seperti malam yang lain. Bunyi jangkrik bersahutan, ditingkahi nyanyian burung hantu. Di angkasa, bintang-gemintang samar disaput mega.
Hanya malam biasa. Namun Dhanapati sama sekali tak menyangka kalau malam itu akan mengubah hidupnya. Selamanya.
Awalnya, tak ada yang istimewa. Penugasan Bhagawan Buriswara untuk mencari keponakan Adipati Daha, Raden Purwadharma yang diculik juga bukan hal yang luar biasa. Mengejar penculik, bukanlah sesuatu yang memerlukan perhatian khusus. Karena itu, Bhagawan hanya menugaskan tiga anggota Bayangkara Biru untuk mengejar para penculik sekaligus menyelamatkan yang diculik.
“Keponakan adipati yang diculik adalah gadis yang cantik. Jadi kalian harus berupaya menyelamatkan dia malam ini juga. Jika menunggu besok, bisa saja para penculik berubah pikiran dan memilih untuk menjadi pemerkosa,” kata Bhagawan ketika memberikan arahan di Pesanggrahan Langit, markas sekaligus tempat tinggal Bhayangkara Biru.
Seperti yang direncanakan, Dhanapati ditugaskan untuk menyelamatkan gadis yang diculik. Kedua rekannya, Bayu Segara dan Lembu Kapang menyamar sebagai prajurit yang akan membawa tebusan. Para penculik meminta 200 keping uang emas jika ingin gadis itu kembali utuh.
Di bawah temaram bulan sabit, Dhanapati berkelebat. Pengalaman bertahun-tahun membuat matanya terlatih. Dalam keremangan dia bisa mengetahui mana batu dan semak yang bisa dijajaki.
Menurut Adipati Purwadharma, para penculik meminta keping uang emas dibawa ke bukit Kranji, sekitar lima ribu tombak sebelah timur Gunung Arjuna. Artinya, gadis yang diculik pasti disembunyikan di suatu tempat di bukit Kranji.
Labels: ciuman, darah di wilwatikta, lembut
DHANAPATI tersuruk, melangkah limbung. Sekujur tubuhnya terasa sakit. Sakit yang perih menusuk. Berdenyut berirama, irama kematian.
Dhanapati menggigit bibirnya. Sakit di sekujur tubuhnya tak sebanding dengan sakit di hati. Dia menggigil.
Tak ada yang lebih menyakitkan dibanding dikhianati teman sendiri. Dikhianati oleh mereka yang selama ini dianggap sebagai saudara sejiwa. Senasib sepenanggungan.
Awalnya dia merasa heran melihat mantan rekannya dari Bhayangkara Biru mendatangi Dukuh Weru, tempatnya menetap selang satu setengah tahun terakhir. Mereka datang lengkap. Bahkan Bhagawan Buriswara, pemimpin Bhayangkara Biru yang biasanya jarang meninggalkan keraton juga ikut serta.
Semula Dhanapati mengira rekan-rekannya datang untuk mengucapkan selamat atas pernikahannya, dan ikut gembira dengan kelahiran bayi laki-lakinya.
Namun perkiraan Dhanapati keliru. Sangat keliru.
Labels: darah di wilwatikta
SENJA menangis. Hujan rintik menetes, seperti ikut merasa gundah. Sang Mentari pun seakan tak sabar untuk turun ke peraduan.
Keenam orang itu duduk di lantai batu, di pondok sederhana dari bambu. Tiga Dara menghidangkan masakan. Nasi putih yang mengepul diletakkan di daun pisang. Dilengkapi daging ayam hutan yang dibakar, dan sayur kangkung liar yang direbus.
Mereka menyantap makanan dengan nyaris tanpa suara.
“Sekarang ceritakan, bagaimana orang kelima di Bhayangkara Biru bisa terluka parah. Bagaimana kalian berdua bisa bertemu…” Putri Harum Hutan memecah kesunyian.
Dhanapati menghentikan gerakan jemari berisi nasi yang tadinya akan dimasukkan ke mulut.
“Bagaimana putri tahu kalau aku orang kelima di Bhayangkara Biru?” Pembagian di Bhayangkara Biru hanya diketahui segelintir orang. Di Bhayangkara Biru, selain Bhagawan Buriswara yang menjadi ketua, ada tujuh anggota. Dan masing-masing disapa anggota pertama, kedua dan seterusnya. Bhagawan Buriswara yang menentukan siapa yang dipanggil apa. Tapi Dhanapati tahu persis, di Trowulan, yang tahu bahwa dirinya adalah anggota kelima hanya segelintir orang. Jumlahnya tak sampai sepuluh orang. Bagaimana Putri Harum Hutan bisa tahu?
Labels: canti, cerita silat, cersil, darah di wilwatikta, hakim tinggi majapahit, hujan malam, istri, silat, wilwatikta