Eps 33. Putri Kaleena, dari Seberang Lautan
10 comments Posted by Cerita Silat ala Rumah Kayu at 7:31 AMDHANAPATI mengangkat kepalanya, merasakan kesegaran yang memenuhi segenap pori-pori. Tak ada yang lebih menyenangkan dibanding berendam di sungai yang jernih.
Setelah menerobos belantara, Dhanapati menemukan sungai yang sangat jernih. Sungai kecil yang meliuk seperti ular. Dhanapati tak dapat menahan diri untuk terjun dan menikmati kesegaran yang ditawarkan sungai itu.
Butiran air menetes ketika Dhanapati keluar dari sungai. Dia mengibaskan tubuhnya sejenak, merentangkan tangan dan menarik nafas panjang. Dia merasa segar. Sangat segar. Dia dapat merasakan dorongan semangat dari dalam tubuh.
Sekarang aku harus mencari cara untuk memulihkan tenaga sakti, pikirnya. Setelah tenaga sakti dan ilmu kanuragannya pulih seperti semula, yang harus dilakukan adalah mencari cara untuk membalas dendam.
Dhanapati mengertakkan giginya.
Dendam.
Dendam itu yang membuatnya bisa bertahan hingga kini. Dendam yang merasuk hingga ke tulang sum-sum dan menanti saat yang tepat untuk pelampiasan.
Dhanapati sepenuhnya sadar, dendam tak akan mengembalikan miliknya yang hilang. Pembalasan tak akan mampu mengembalikan kebahagiaannya yang kini menguap bagai ditelan awan. Pelampiasan dendam tak akan mampu menghidupkan istri dan anaknya. Dia juga tahu, dendam itu ibarat mereguk air bercampur garam. Untuk sejenak, dahaga seperti terpuaskan, namun tubuh akan kembali haus. Dan haus.
Mereka telah merebut milikku yang paling berharga, desisnya. Sekarang aku harus membuat mereka merasakan apa makna sebenarnya dari kehilangan!!
Labels: darah di wilwatikta, dendam, gadis berbaju merah, mandi, pedang, putri kaleena
OMBAK berdebur tanpa henti, lidahnya menjilat- jilat tepi tebing. Sementara itu, tinggi di atasnya, di sebuah pondok di tengah hutan berbatas tebing di tepi samudera tersebut, seorang nenek tua terus sibuk meracik dan menumbuk beragam daun, bunga dan biji- bijian.
Nenek itu, Mohiyang Kalakuthana, terkenal sebagai si ratu racun di kalangan para pendekar. Keahliannya meracik racun tak tertandingi selama berpuluh tahun terakhir.
Mohiyang Kalakuthana sendiri gerak- geriknya masih sangat gesit. Dia tak pernah lupa meminum jamu- jamuan yang racikannya sendiri setiap hari. Hal yang membuatnya awet muda.
Nenek itu terus menumbuk, sampai suatu saat geraknya terhenti ketika dia mendengar suara derit dari dipan disampingnya.
Kiran bergerak sedikit, tapi dia masih tertidur. Mohiyang Kalakuthana mengamati gadis itu sejenak lalu meneruskan pekerjaannya.
Tak ada yang perlu dikuatirkan. Napas Kiran tampak teratur. Artinya, obat bius yang diberikannya pada Kiran tepat ukurannya. Tak kurang, tak lebih. Cukup untuk membuat Kiran tak sadarkan diri tapi tak berlebihan hingga membahayakan jiwanya.
Pesan yang diterima Mohiyang Kalakuthana memang dengan jelas dan tegas meminta agar mereka menculik Kiran hidup- hidup. Dan itulah yang dilakukan Mohiyang. Kiran tak terluka sedikitpun. Dia tertidur dan dengan mudah setelah itu tubuhnya dipanggul oleh Pendekar Mata Naga yang bersembunyi di dekar rumah dimana Mohiyang berada serta merintih- rintih agar terdengar oleh Kiran.
Pendekar Mata Naga pulalah yang dititipi oleh Mohiyang Kalakuthana untuk menyampaikan pesan bahwa Kiran telah tertangkap pada orang yang memberikan perintah baginya untuk menangkap Kiran.
Labels: darah di wilwatikta, gelombang, racun, rindu, tebing
TOKO bahan baku jamu dan obat- obatan itu ramai, seperti biasa.
Seusai mengunjungi Pawon ManteraKata, Pendekar Misterius dan keluarganya mampir ke toko bahan jamu dan obat yang juga terletak di dekat pasar dimana Pawon ManteraKata berada. Toko tersebut terletak berselang beberapa toko saja dengan Pawon ManteraKata.
Nyai Daunilalang berkeliling ruangan dan mengamati kotak- kotak bahan jamu di hadapannya. Dia membutuhkan beberapa bahan untuk persediaan di Padepokan Rumah Kayu. Tak berapa banyak jumlahnya, tapi dalam kesempatan mengunjungi toko tersebut dia memang selalu menyempatkan diri untuk berkeliling toko. Nyai Daunilalang senang berada di sana. Keharuman beberapa bahan jamu yang segar menyenangkan hatinya.
Nyai Daunilalang sendiri saja memasuki toko tersebut. Keluarganya menanti di luar.
Pekarangan toko tersebut luas. Pradipta yang segan turut masuk ke dalam toko bermain di sana. Pendekar Misterius juga ada di sana, duduk di bawah sebuah pohon sambil memangku Nareswari, sementara mbok emban mengawasi Pradipta bermain sambil menggendong Nareswara.
Pendekar Misterius bersenda gurau dengan bayinya. Menunjukkan ini dan itu. Ayam- ayam yang melintas di pekarangan, kereta kuda, dan beragam hal lain. Bayi yang lucu itu tertawa- tawa dan mengoceh riang, “ Ta.. ta.. ta... ta.. ta... “ katanya dengan sangat menggemaskan.
Saat dia sedang bergurau dengan putrinya itulah tampak seseorang memasuki pekarangan toko.
“ Pendekar! “ seru orang yang tampak sangat tergesa- gesa itu memanggil Pendekar Misterius.
Pendekar Misterius menoleh, lalu tertawa lebar, lalu berdiri menyambut lelaki yang datang.
Ketika itu Nyai Daunilalang keluar dari toko dan berjalan menuju bangku dimana suami dan putrinya berada. Dia tiba di sana pada saat yang hampir bersamaan dengan lelaki yang baru datang itu.
“ Pendekar Wolu Likur! “ Nyai Daunilalang menyapa lelaki itu. Senyum lebar tampak di mukanya. “ Kami baru saja tadi mengunjungi Pawon ManteraKata... “
Lelaki yang disapa dengan Pendekar Wolu Likur itu mengangguk. “ Ya Nyai. Maaf tidak sempat bertemu tadi. Aku baru saja tiba di sana. Dan ini dari istriku, kipas Nyai ketinggalan, katanya. “
Labels: darah di wilwatikta, kipas, racun, sapu tangan