TOKO bahan baku jamu dan obat- obatan itu ramai, seperti biasa.
Seusai mengunjungi Pawon ManteraKata, Pendekar Misterius dan keluarganya mampir ke toko bahan jamu dan obat yang juga terletak di dekat pasar dimana Pawon ManteraKata berada. Toko tersebut terletak berselang beberapa toko saja dengan Pawon ManteraKata.
Nyai Daunilalang berkeliling ruangan dan mengamati kotak- kotak bahan jamu di hadapannya. Dia membutuhkan beberapa bahan untuk persediaan di Padepokan Rumah Kayu. Tak berapa banyak jumlahnya, tapi dalam kesempatan mengunjungi toko tersebut dia memang selalu menyempatkan diri untuk berkeliling toko. Nyai Daunilalang senang berada di sana. Keharuman beberapa bahan jamu yang segar menyenangkan hatinya.
Nyai Daunilalang sendiri saja memasuki toko tersebut. Keluarganya menanti di luar.
Pekarangan toko tersebut luas. Pradipta yang segan turut masuk ke dalam toko bermain di sana. Pendekar Misterius juga ada di sana, duduk di bawah sebuah pohon sambil memangku Nareswari, sementara mbok emban mengawasi Pradipta bermain sambil menggendong Nareswara.
Pendekar Misterius bersenda gurau dengan bayinya. Menunjukkan ini dan itu. Ayam- ayam yang melintas di pekarangan, kereta kuda, dan beragam hal lain. Bayi yang lucu itu tertawa- tawa dan mengoceh riang, “ Ta.. ta.. ta... ta.. ta... “ katanya dengan sangat menggemaskan.
Saat dia sedang bergurau dengan putrinya itulah tampak seseorang memasuki pekarangan toko.
“ Pendekar! “ seru orang yang tampak sangat tergesa- gesa itu memanggil Pendekar Misterius.
Pendekar Misterius menoleh, lalu tertawa lebar, lalu berdiri menyambut lelaki yang datang.
Ketika itu Nyai Daunilalang keluar dari toko dan berjalan menuju bangku dimana suami dan putrinya berada. Dia tiba di sana pada saat yang hampir bersamaan dengan lelaki yang baru datang itu.
“ Pendekar Wolu Likur! “ Nyai Daunilalang menyapa lelaki itu. Senyum lebar tampak di mukanya. “ Kami baru saja tadi mengunjungi Pawon ManteraKata... “
Lelaki yang disapa dengan Pendekar Wolu Likur itu mengangguk. “ Ya Nyai. Maaf tidak sempat bertemu tadi. Aku baru saja tiba di sana. Dan ini dari istriku, kipas Nyai ketinggalan, katanya. “
Nyai Daunilalang mengerutkan kening.
Kipasnya ketinggalan di Pawon ManteraKata? Rasanya tidak. Dia telah memeriksa meja tempat mereka makan tadi sekali lagi sebelum pergi dari sana dan yakin sekali bahwa tak ada apapun yang tertinggal di atas meja itu.
“ Ini Nyai, “ kata Pendekar Wolu Likur menyodorkan sebuah kipas padanya.
Nyai Daunilalang mengulurkan tangannya kipas tersebut. Kipas yang dipegang oleh Pendekar Wolu Likur tampak serupa dengan kipas yang diberikan oleh Mbakyu Tri, istri Pendekar Wolu Likur, pemilik Pawon ManteraKata sebelumnya pada dia tadi.
Pendekar Wolu Likur memberikan kipas yang dibawanya pada Nyai Daunilalang. Pendekar Misterius berdiri tanpa berkata- kata di samping mereka, memperhatikan apa yang terjadi. Dan dengan segera dia tahu bahwa Pendekar Wolu Likur tidak datang untuk mengembalikan kipas istrinya yang tertinggal ketika sesaat, hampir tak terlihat, dia membaca raut muka istrinya.
Pendekar Misterius mengenali istrinya dengan baik, sangat baik. Gerak gerik, perubahan raut muka, atau kata- kata sependek apapun sudah cukup baginya untuk membaca apa yang ada dalam hati atau pikiran Nyai Daunilalang.
Diperhatikannya istrinya membuka kipas tersebut lalu dengan cepat mata Pendekar Mister menyapu seluruh permukaan kipas itu. Kipas yang tak dikenalinya. Bukan milik Nyai Daunilalang. Dan seperti yang telah diduganya, kipas itu hanya berisi gambar saja, tanpa tulisan apapun di atasnya.
Kipas tersebut dikirimkan oleh Mbakyu Tri lebih sebagai alasan untuk menghubungi Nyai Daunilalang.
Pendekar Misterius yakin bahwa Nyai Daunilalang sebetulnya juga sudah menduga hal tersebut karena alih- alih bertanya atau mengamati kipas tersebut dengan teliti, Nyai Daunilalang malah tampak mengamati secarik kain kecil yang ada di telapak tangannya.
Dengan cepat Nyai Daunilalang membaca apa yang tertulis di atas kain tersebut. Dia lalu menutup kembali kipas yang tadi diberikan Pendekar Wolu Likur kepadanya. Dikembalikannya kipas tersebut pada Pendekar Wolu Likur, sambil menyelipkan kembali carikan kain kecil tersebut ke dalam genggaman suami Mbakyu Tri itu.
“ Ah, istrimu keliru, “ ujar Nyai Daunilalang. “ Ini bukan kipasku, mungkin ini milik orang lain. “
Sambil berkata begitu Nyai Daunilalang menatap bola mata Pendekar Wolu Likur lalu sambil mengangguk halus. Memberikan tanda bahwa pesan Mbakyu Tri telah diterimanya.
“ Baiklah kalau begitu, “ Pendekar Wolu Likur menerima kembali kipas dan carikan kain kecil dari Nyai Daunilalang. “ Aku pamit dulu,” katanya pada Nyai Daunilalang.
Dia lalu menyalami Pendekar Misterius dan pergi meninggalkan pekarangan toko bahan obat, berjalan ke arah Pawon ManteraKata. Sementara itu sambil memandangi Pendekar Wolu Likur yang berjalan menjauh Nyai Daunilalang bicara lirih pada suaminya, “ Kiran diculik. Putri Harum Hutan mengirim pesan, dia sedang berusaha mencarinya. Kita harus segera menghubungi Para Pelindung Yang Tersumpah untuk membantu Putri mencari Kiran... “
***
Di tempat lain, di sebuah pondok dalam hutan yang terletak di tepi tebing dimana samudra luas dengan ombak yang tak berhenti bergulung dan berdebur membentang di bawahnya, Kiran terbaring di atas sebuah dipan.
Di dekatnya duduk seorang nenek tua yang sedang menghadapi beberapa wadah berisi beragam dedaunan, bunga dan biji- bijian. Dia mengambil beberapa helai daun dan biji- bijian, menaruhnya dalam sebuah wadah lalu mulai menumbuknya.
Nenek tua ini dikenal dengan nama Mohiyang Kalakuthana. Nama yang diperolehnya sebagai nama julukan dari para kenalannya. Kalakuthana artinya Racun Berbahaya. Mohiyang ( nenek ) ini memang terkenal sebagai ratu racun yang sangat sulit dicari tandingannya di dunia persilatan. Banyak orang berguru padanya, tapi tak bisa menyamai kemampuannya meramu racun. Bukan hanya murid- muridnya, bahkan konon para gurunyapun telah sangat jauh tertinggal kemampuannya dalam meramu racun.
Sesekali sambil menumbuk ramuan, nenek tua ini memperhatikan Kiran yang masih terlelap karena pengaruh obat bius yang dibuatnya.
Kiran dibiusnya di Dukuh Sangkor. Berdasarkan informasi dari pihak yang menghubunginya bahwa kemungkinan besar Kiran akan melewati Dukuh Sangkor, Mohiyang Kalakuthana membuat rencana. Dia meracun hewan dan manusia di Dukuh Tersebut untuk menarik perhatian Kiran dan kawan- kawannya, walau dia melewatkan bayi- bayi. Mohiyang Kalakuthana tak tega membunuh bayi- bayi tak berdaya, karenanya dibiarkannya bayi- bayi tersebut hidup. Setelah itu dia sendiri masuk ke dalam sebuah rumah, dan mengeluarkan suara rintihan di sana.
Jebakan tesebut berhasil. Kiran dan rombongannya memang melintasi Dukuh Sangkor dalam perjalanan mereka. Dan mendengar suara rintihan, Kiran memasuki rumah dimana Mohiyang Kalakuthana berada. Tak perlu banyak waktu bagi si ratu racun itu untuk membuat Kiran terkulai tak sadarkan diri setelah membekapnya dengan kacu ( sapu tangan ) yang telah diberinya ramuan obat bius ketika Kiran mendekat dan membungkuk untuk memeriksa nenek tua yang sedang berpura- pura merintih kesakitan di dalam rumah yang dimasukinya tersebut...
** gambar diambil dari: http://www.bride.ca/ **
Labels: darah di wilwatikta, kipas, racun, sapu tangan
Btw kepenasaran aku juga sama dengan mba mechta ;)
pendekar wolu likur nanti... mmm... ah rahasia dulu ah ;-) d.~
lanjot ke episode berikutnya hihi