DHANAPATI mengangkat kepalanya, merasakan kesegaran yang memenuhi segenap pori-pori. Tak ada yang lebih menyenangkan dibanding berendam di sungai yang jernih.
Setelah menerobos belantara, Dhanapati menemukan sungai yang sangat jernih. Sungai kecil yang meliuk seperti ular. Dhanapati tak dapat menahan diri untuk terjun dan menikmati kesegaran yang ditawarkan sungai itu.
Butiran air menetes ketika Dhanapati keluar dari sungai. Dia mengibaskan tubuhnya sejenak, merentangkan tangan dan menarik nafas panjang. Dia merasa segar. Sangat segar. Dia dapat merasakan dorongan semangat dari dalam tubuh.
Sekarang aku harus mencari cara untuk memulihkan tenaga sakti, pikirnya. Setelah tenaga sakti dan ilmu kanuragannya pulih seperti semula, yang harus dilakukan adalah mencari cara untuk membalas dendam.
Dhanapati mengertakkan giginya.
Dendam.
Dendam itu yang membuatnya bisa bertahan hingga kini. Dendam yang merasuk hingga ke tulang sum-sum dan menanti saat yang tepat untuk pelampiasan.
Dhanapati sepenuhnya sadar, dendam tak akan mengembalikan miliknya yang hilang. Pembalasan tak akan mampu mengembalikan kebahagiaannya yang kini menguap bagai ditelan awan. Pelampiasan dendam tak akan mampu menghidupkan istri dan anaknya. Dia juga tahu, dendam itu ibarat mereguk air bercampur garam. Untuk sejenak, dahaga seperti terpuaskan, namun tubuh akan kembali haus. Dan haus.
Mereka telah merebut milikku yang paling berharga, desisnya. Sekarang aku harus membuat mereka merasakan apa makna sebenarnya dari kehilangan!!
Namun dia hanya bisa membalaskan dendam jika ilmu beladirinya pulih. Sekarang dia harus mencari tempat yang aman untuk memulihkan diri.
Dhanapati mengamati sekitar, mengingat-ingat. Dia kemudian mendekati pohon sawo yang tumbuh dekat serumpun bambu. Di dekat pohon sawo ada batu besar yang dari kejauhan terlihat seperti babihutan.
Ini tempat yang tepat, pikirnya.
Dengan pedang dia menggali tanah di sekitar batu. Dia kemudian menorehkan tanda silang pada kulit pohon sawo, dan menguburkan pedangnya.
Dhanapati tahu, rekan-rekannya di Bhayangkara Biru tak akan berhenti sebelum menemukan jasadnya. Sebelum pulih, dia harus melarikan diri jauh-jauh. Cara yang paling mudah adalah menyamar. Menjadi orang lain. Supaya penyamarannya meyakinkan, dia harus mengubur pedangnya. Tak ada artinya menyamar menjadi orang lain jika di saat yang sama dia tetap membawa pedang. Dari kejauhan, rekan-rekannya akan mampu mengenali Pedang Api miliknya.
Masalah pedang sudah beres. Sekarang waktunya mengubah penampilan.
Dhanapati memasuki hutan. Dia lalu memetik belasan pucuk daun Salam yang masih muda, mengumpulkan benalu sebanyak satu genggam, ranting pohon Wunga, akar tanaman Dangsa yang berbentuk umbi, akar pohon Rupala dan segenggam daun Kinanga. Dia mencuci akar, daun dan ranting yang dipetiknya dan kemudian menumbuknya di atas sebuah batu.
Dan tiba-tiba Dhanapati mencium aroma yang sangat harum.
“Jangan berteriak jika ingin selamat...” Suara yang bening berbisik di telinga. Suara seorang perempuan, yang mencengkeram lehernya. Dhanapati dapat merasakan tajamnya kuku perempuan itu.
Perlahan Dhanapati menoleh. Seorang perempuan berwajah cantik mengenakan pakaian warna merah menyala tiba-tiba sudah berada di dekatnya. Wajah gadis itu berpeluh, namun tidak menutupi kecantikannya. Ada sesuatu pada perempuan itu yang membuatnya sangat menarik.
“Aku tidak akan membunuhmu jika kau bisa mengatakan ke mana arah jalan ke Trowulan,” gadis itu kembali berbisik.
Dhanapati menggeleng dan memberi isyarat. Perempuan utu melepaskan cengkeramannya.
“Aku minta maaf,” jawab Dhanapati. “Aku sendiri tidak tahu berada di mana....”
Gadis itu menyipitkan matanya, menatap Dhanapati dari ujung rambut hingga ke ujung kaki. “Kau tidak tau berada di mana? Lalu bagaimana kau berada di sini? Apakah kau bukan petani?”
“Wah pertanyaanmu banyak,” kata Dhanapati sambil tersenyum.” Yang mana yang harus kujawab? Tapi kau betul. Aku bukan petani. Boleh aku tahu siapa yang mengejarmu?”
Perempuan itu nampak kaget. Dalam sekejap, jarinya kembali mencengkeram leher Dhanapati. “Bagaimana kau tau kalau aku sedang dikejar?”
“Mudah saja,” jawab Dhanapati. “Kau bertanya sambil berbisik. Kau terlihat lelah karena habis berlari. Ketika bicara kau beberapa kali menatap ke arah hutan, dan kau menanyakan arah ke Trowulan. Jelas sekali kau dikejar seseorang atau sesuatu...”
Gadis itu melepaskan cengkeramannya, dan kembali menatap Dhanapati. “Hmm... Kau cerdas. Jelas kau bukan petani. Namun kau benar. Aku sedang dikejar musuh...”
Dhanapati mengangguk. “Kau terpisah dari rombonganmu, atau mungkin kau satu-satunya yang selamat dari kelompokmu. Musuh mengejarmu karena ingin menangkapmu hidup-hidup. Atau mungkin karena menginginkan sesuatu yang kau miliki...”
Gadis itu menatap Dhanapati seperti melihat hantu. “Ka... Apakah kau seorang peramal? Bagaimana kau bisa menebak dengan tepat?”
Dhanapati mengangkat bahunya. “Aku hanya menghubungkan beberapa fakta. Kalau melihat pakaian yang dikenakan jelas kau bukan berasal dari Jawadwipa. Bahkan kau bukan datang dari Nusantara. Berdasarkan pengalamanku, pihak yang mendatangi Jawadwipa dari luar Nusantara pasti berkelompok. Dan kau bisa beladiri...”
“Kau benar,” sahut gadis itu sambil menatap Dhanapati dengan sorot mata kagum. “Namaku Kaleena. Putri Kaleena. Aku datang dari wilayah Ghurat. Kami diutus Maharaja mempersembahkan hadiah untuk Raja Majapahit. Namun rombongan kami diserang begitu meninggalkan pelabuhan. Aku sudah melarikan diri selama tiga hari namun mereka tetap bisa mengejar....”
Gadis itu menarik nafas panjang dan menatap ke arah hutan dengan khawatir. “Pihak pengejar sangat hebat. Ilmu beladiri mereka sangat tinggi. Eh, pemuda tampan, kau sangat cerdik. Bisakah kau membantu agar aku tidak dikejar mereka lagi?”
“Tentu. Aku bisa.”
“Bagaimana caranya?”
“Mudah saja. Kau cukup membuka pakaianmu...”
Mata gadis itu kembali menyipit. “Kau... kau jangan kurang ajar...”
“Aku tidak kurang ajar. Dengan pakaian yang kau kenakan, sampai ke nerakapun mereka akan bisa mengejarmu. Kau terlalu menyolok. Siapapun yang bertemu denganmu akan mengingatmu...”
“Ahhh...” Kaleena menganggukkan kepala. “Sekarang aku mengerti kenapa mereka tetap bisa menemukan jejakku. Ternyata karena pakaianku....” Dia kemudian menatap Dhanapati. “Tapi aku tak punya pakaian lain. Jika kubuka, aku harus mengenakan apa?”
“Kau cukup mengenakan kain untuk menutupi pinggul...”
“Kau... kau gila...” Dan seperti sebelumnya, kuku Kaleena kembali mencengkeram leher Dhanapati. Kali ini lebih dalam sehingga Dhanapati merasa lehernya perih. (bersambung)
Labels: darah di wilwatikta, dendam, gadis berbaju merah, mandi, pedang, putri kaleena
ayo-ayo...lanjutannya jangan lama2 ya... (keinginan khas sang pecandu :) )
Ngga bisa menduga nih apa peranan sang putri dari Ghurat dalam cerita ini kelak. Oh dan siapa yang mengejar Kiran juga masih belum diungkap ya? Atau aku ngga ngeh ya? :oops:
Kisah menarik apa lagi yang menunggu kita? :D
ada banyak hal yang memang sengaja dibikin gak jelas, karena kisahnya masih panjang. jika semua udah dibuka sejak awal ya gak seru lagi dong, hehehe :)
Kisahnya ditunggu aja ya? hehehe
namanya baguuss..
ahsyeek nambah lagii :)
Aniway, biarin aja, rasanya nama KaleenA lebih PAS untuk karakter baru ini :D
*lanjut baca eps baru lainnya, ah*