Eps 36. Jalan Pedang Lu Sekai

“Bersikap tenang,” bisik Dhanapati. “Tetaplah menunduk. Kita harus bersikap seperti petani dari desa...”

Derap kuda makin mendekat. Ada sembilan penunggang kuda yang datang bagai badai. Seperti yang diduga Dhanapati, para penunggang kuda ini hanya melirik sekilas dan dalam sekejap mereka lenyap.

Walau hanya lewat dalam sekelebat, namun mata Dhanapati yang tajam sempat menyimak. Dan dia terkejut.

“Hmmm... Aneh sekali,” gumam Dhanapati. “Mereka itu, ada yang dari Aliran Batu Hitam, Padepokan Bambu Hijau, Perkumpulan Melati dan Pesanggrahan Keramat. Bagaimana keempat kelompok yang berbeda itu bisa berjalan bersama?”

“Aliran Batu Hitam? Padepokan Bambu Hijau? Kamu bicara apa?” bisik Kaleena. Suaranya terdengar bergetar, pertanda rasa tegangnya belum sepenuhnya sirna.

“Di Jawadwipa, setiap aliran atau perkumpulan silat punya ciri khas tersendiri, yang juga menjadi semacam tanda pengenal bagi pihak lain,” jelas Dhanapati. “Aliran Batu Hitam misalnya, mereka biasa tampil dengan busana serba hitam dengan sabuk warna putih yang melintang di dada. Padepokan Bambu Hijau berpakaian serba hijau dan menggondol bambu hijau yang dijadikan senjata. Perkumpulan Melati mengenakan penutup kepala yang terbuat dari rangkaian bunga melati. Pesanggrahan Keramat, pada kedua lengan digambari lukisan ular berkepala tiga yang melingkar. Tapi sepanjang yang aku tahu, keempat kelompok itu tak pernah bekerja sama. Bagaimana mungkin mereka bisa menjadi satu rombongan dan mengejarmu?”

Kaleena mengangkat bahunya. “Bagaimana aku tahu? Aku juga pendatang di sini, ingat? Tapi, bagaimana kau bisa mengetahuinya? Jadi benar dugaanku, kau pasti bukan pemuda biasa...”

“Aku tahu, karena dulu pekerjaanku mengharuskan aku mengenal semua perkumpulan dan kelompok beladiri di Jawadwipa dan sekitarnya. Tapi itu dulu. Sekarang tidak lagi...”

“Apa yang terjadi?”

Eps 35. Kisah Surti dan... Prabu Wijaya?

DHANAPATI menggerakkan tubuhnya. Gadis itu menghimpitnya, dan pemuda itu dapat merasakan hembusan nafas gadis itu yang seperti memburu.

“Aku tidak gila, nona. Hanya dengan cara itu kau bisa melepaskan diri dari para pengejar...”

Kaleena mundur selangkah, menatap Dhanapati. Tatapannya tajam, seperti ingin mengiris tubuh.  “Bicaralah. Aku mendengarkan...”

“Begini,”  Dhanapati berujar pelan, mencoba mencari kata-kata yang tepat. Melihat tatapan Kaleena, pemuda itu tahu, jika dia salah bicara, nyawanya mungkin akan melayang. “Setiap wilayah, setiap daerah, punya adat dan kebiasaan masing-masing. Di sini, di Jawadwipa, kita terbiasa tidak mengenakan penutup tubuh di bagian atas. Ini berlaku tidak hanya laki-laki, namun juga perempuan. Mungkin berbeda dengan daerah lain, namun di sini, bukanlah sesuatu yang melanggar norma kesusilaan jika perempuan tidak mengenakan penutup tubuh bagian atas....”

Dhanapati menatap Kaleena. “Kau pasti telah melewati beberapa dusun sebelum tiba di sini bukan? Berarti kau telah melihat bagaimana perempuan di Majapahit berbusana. Sebagian memang sudah mengenakan penutup dada, namun masih banyak yang tidak....”

“Dan kau ingin aku berpura-pura menjadi perempuan Jawadwipa?”

“Benar. Jika ingin meloloskan diri dari para pengejar, kau harus menyamar. Mereka mencari perempuan asing yang mengenakan pakaian merah warna-warni. Mereka pasti tidak akan menyangka kalau penampilan perempuan yang dikejar sudah berubah...”

Kaleena menarik nafas panjang, menimbang-nimbang. “Rasanya kau benar. Tapi... Aku harus ke kota raja, dan menyerahkan persembahan untuk Raja Majapahit. Bagaimana aku bisa ke Trowulan dengan setengah telanjang?”

Eps 34. Malam Pekat Di Tepi Samudera

MALAM menjelang.


Kota Trowulan masih tampak ramai. Kereta kuda berlalu lalang di sana sini. Di pendopo sebuah rumah yang terletak di pusat kota, tampak beberapa orang duduk bersila.


“ Berangkatlah kalian sekarang, “ seorang laki- laki berkata, “ Pastikan bahwa kalian dapat membawanya ke hadapanku dalam keadaan hidup dan selamat. “


Seorang perempuan dan seorang laki- laki yang duduk di hadapannya mengangguk tanpa menatap mata lelaki tersebut.


“ Baik, Ketua Muda, “ terdengar suara lirih perempuan.


Lelaki yang disapa sebagai Ketua Muda berkata, “ Durgandini, kau dan Rakai Wanengpati pernah gagal membawanya kemari. Bukan hanya gagal, tapi Ki Brengos bahkan terbunuh. Jangan sampai kali ini kalian membuat kesalahan dan gagal lagi. Tugas kali ini lebih mudah. Berikan suratku pada Mohiyang Kalakuthana, berikan juga uang emas ini, “ Ketua Muda menunjuk sebuah kantong yang tampak penuh, “ Dan bawa gadis itu kemari. “


“ Baik, Ketua Muda, “ kali ini bukan Durgandini, tapi laki- laki yang bernama Rakai Wanengpati yang menjawab, “ Kami akan laksanakan perintah Ketua Muda. “


“ Aku mau dia sampai di hadapanku dengan hidup, selamat, dan... utuh, “ Ketua Muda menekankan kata utuh.


Muka Rakai Wanengpati memerah. Ketua Muda rupanya tahu benar bahwa dia selalu mengantungi Paraga Gayuh Tresna ( Serbuk Perangsang Asmara ) kemanapun dia pergi serta tak pernah melepaskan kesempatan untuk menggunakan serbuk tersebut.


Sekilas Rakai Wanengpati teringat pada tiga orang gadis yang sempat terkena Paraga Gayuh Tresna tapi kemudian ditinggalkannya.


Entah apa yang terjadi pada para gadis itu. Mungkin juga mereka sudah gila sekarang, pikir Rakai Wanengpati.