Eps 34. Malam Pekat Di Tepi Samudera

MALAM menjelang.


Kota Trowulan masih tampak ramai. Kereta kuda berlalu lalang di sana sini. Di pendopo sebuah rumah yang terletak di pusat kota, tampak beberapa orang duduk bersila.


“ Berangkatlah kalian sekarang, “ seorang laki- laki berkata, “ Pastikan bahwa kalian dapat membawanya ke hadapanku dalam keadaan hidup dan selamat. “


Seorang perempuan dan seorang laki- laki yang duduk di hadapannya mengangguk tanpa menatap mata lelaki tersebut.


“ Baik, Ketua Muda, “ terdengar suara lirih perempuan.


Lelaki yang disapa sebagai Ketua Muda berkata, “ Durgandini, kau dan Rakai Wanengpati pernah gagal membawanya kemari. Bukan hanya gagal, tapi Ki Brengos bahkan terbunuh. Jangan sampai kali ini kalian membuat kesalahan dan gagal lagi. Tugas kali ini lebih mudah. Berikan suratku pada Mohiyang Kalakuthana, berikan juga uang emas ini, “ Ketua Muda menunjuk sebuah kantong yang tampak penuh, “ Dan bawa gadis itu kemari. “


“ Baik, Ketua Muda, “ kali ini bukan Durgandini, tapi laki- laki yang bernama Rakai Wanengpati yang menjawab, “ Kami akan laksanakan perintah Ketua Muda. “


“ Aku mau dia sampai di hadapanku dengan hidup, selamat, dan... utuh, “ Ketua Muda menekankan kata utuh.


Muka Rakai Wanengpati memerah. Ketua Muda rupanya tahu benar bahwa dia selalu mengantungi Paraga Gayuh Tresna ( Serbuk Perangsang Asmara ) kemanapun dia pergi serta tak pernah melepaskan kesempatan untuk menggunakan serbuk tersebut.


Sekilas Rakai Wanengpati teringat pada tiga orang gadis yang sempat terkena Paraga Gayuh Tresna tapi kemudian ditinggalkannya.


Entah apa yang terjadi pada para gadis itu. Mungkin juga mereka sudah gila sekarang, pikir Rakai Wanengpati.


Atau…


Rakai Wanengpati tiba- tiba teringat pada Dhanapati yang saat dia menaburkan bubuk tersebut berada di sana. Ah, pikirnya kesal, jangan- jangan pemuda itu yang akhirnya memetik untung bersama ketiga Dara cantik itu.


Tapi tak ada waktu untuk melanjutkan pikiran tentang apa yang terjadi dengan ketiga Dara yang ditinggalkannya dulu, sebab tampak Durgandini telah bangkit dari duduknya seraya meraih kantong berisi uang emas untuk Mohiyang Kalakuthana. Rakai Wanengpati juga bangkit dari duduknya sambil berpamitan pada Ketua Muda yang menjawab dengan anggukan.


***


Durgandini dan Rakai Wanengpati tahu bahwa kali ini mereka tak boleh lalai. Ketua Muda tak akan menerima kegagalan sampai dua kali.


Dulu mereka tak berhasil membawa Kiran ke hadapan Ketua Muda seperti yang diminta karena kalah berlaga ilmu silat. Kali ini mereka hanya ditugaskan mengawal saja tanpa perlu bertempur, sebab Kiran sebenarnya sudah berhasil ditangkap dengan cara lain. Begitu mereka pulang dengan tangan kosong, Ketua Muda segera menjalankan rencana cadangannya untuk dapat menghadirkan Kiran di hadapannya, yaitu dengan menghubungi Mohiyang Kalakuthana.


Mohiyang Kalakuthana seorang ahli racun yang tak pernah bersedia menjadi anggota kelompok tertentu. Dia berdiri sendiri dan melakukan apapun sesuai kehendaknya sendiri.


Dalam hal ini, sesuai kehendaknya sendiri bisa berarti sesuai keinginannya atau sesuai dengan kemauan para pihak yang memberinya pesanan untuk melakukan sesuatu dengan sejumlah bayaran yang disepakati.


Itulah jalan yang dipilih oleh sang Ketua Muda. Dia menghubungi Mohiyang Kalakuthana dan menyampaikan keinginannya untuk menangkap Kiran, sambil menyebutkan sejumlah uang tertentu yang akan dibayarkan pada Mohiyang jika Kiran berhasil diculik.


***


hutan


Di tempat lain, di sebuah pondok di dalam hutan yang berbatasan dengan tebing tinggi di tepi sebuah samudera dimana ombak tak berhenti berdebur, tampak seorang nenek tua tertidur lelap.


Nenek tersebut adalah sang pemilik pondok, Mohiyang Kalakuthana, si ratu racun.


Di dipan lain dalam ruangan tersebut, seorang gadis tampak duduk sambil mengatupkan kedua tangannya di depan dada. Dia tampak memusatkan pikirannya pada hal yang sedang dilakukannya.


Gadis itu Kiran.


Perlakan Kiran menggerakkan tangannya. Dari posisi terkatup di depan dada, kini tangan itu merenggang dan kemudian bergerak- gerak ke sana kemari.


Kiran sedang melakukan ritual untuk menyerap energi. Dia tidak sakit, tak pula cedera, dan efek obat bius yang digunakan Mohiyang Kalakuthana telah hilang. Tapi Kiran tahu, dia tak boleh lengah.


Dia masih belum tahu mengapa dia saat ini ada di dalam pondok ini bersama Mohiyang. Dia juga tak tahu apa rencana Mohiyang. Perempuan tua itu bersikap cukup ramah padanya tapi tak bersedia mengatakan apapun juga.


Mohiyang tak menjawab beberapa pertanyaan yang diajukan Kiran sehubungan dengan keberadaannya juga rencana ke depan.


Kiran juga menyadari, gelang yang biasa digunakannya hilang. Tapi karena bahkan mengenai hal- hal yang penting tentang bagaimana dia bisa berada di sana dan akan berapa lama berada di tempat itu serta kemana mereka akan pergi setelah inipun Mohiyang tak bersedia memberikan keterangan, Kiran merasa akan sia- sia saja dia bertanya mengenai gelangnya.


Karena itu Kiran juga bersikap diam dan tak banyak bicara, hanya setelah Mohiyang terlelap di peraduannya Kiran  memulai latihan rutin untuk menjaga kekuatannya.


Walau tak mengetahui dengan pasti apa yang terjadi, Kiran menyadari bahwa keinginannya untuk dapat segera pulang ke rumahnya di Dukuh Wening tak akan begitu mudah tercapai. Selama perjalanan yang dilakukannya bersama Dhanapati, telah beberapa kali ada pihak yang berusaha menculiknya tanpa dia sendiri mengerti kenapa. Dia hanya tahu bahwa dia harus berhati- hati.


Karenanya Kiran memilih untuk bersabar sambil tetap waspada dan menjaga kekuatan. Disamping itu, dia sedang pula berusaha mengirimkan gelombang pikirannya pada beberapa orang. Kiran berharap gelombang pikiran yang dikirimkannya akan dapat terbaca oleh orang- orang yang ditujunya dan bantuan akan segera dikirimkan.


Gelombang pertama dikirimkannya pada ayahnya.


Kiran lalu mengirimkan gelombang yang kedua.


Kepada Dhanapati.


***


Malam makin pekat. Suara serangga terdengar meningkahi debur ombak yang makin jelas terdengar di tengah kesunyian.


Dan pada suatu saat Kiran tersentak. Dia berusaha mendengarkan lebih jelas. Ada suara lain selain suara ombak dan serangga.


Seperti ada langkah di luar.


Kiran berhenti menggerakkan tangan. Berusaha mendengarkan kembali. Tapi tak ada apapun yang terdengar lagi.


Kiran memulai kembali latihannya. Tak lama, sebab dalam kepekaan rasa dan pikiran dia merasakan kembali kehadiran manusia lain di luar pondok.


Kiran lalu memutuskan untuk memeriksa keadaan. Dia bangkit dan berjingkat menuju pintu pondok.


Dan tepat ketika tangannya hendak meraih kayu yang berfungsi sebagai kunci pintu, terdengar suara serang di belakangnya, “ Hendak pergi kemana, cah ayu? “


Kiran menoleh. Dilihatnya Mohiyang Kalakuthana yang tadi tampak masih tertidur lelap kini telah duduk di tempat tidur sambil menatapnya tajam…


( bersambung )



** gambar diambil dari: www.myartprints.com/a/nick-barker/ **

2 Comments:

  1. wi3nd said...
    waduch gawaaat..

    kiraaan mau diserahkan yaa..

    siapakah yang akan menolong kiran :roll:
    sony shy said...
    Penasaran..menggal ceritanya pas Bener...

Post a Comment