Eps 35. Kisah Surti dan... Prabu Wijaya?

DHANAPATI menggerakkan tubuhnya. Gadis itu menghimpitnya, dan pemuda itu dapat merasakan hembusan nafas gadis itu yang seperti memburu.

“Aku tidak gila, nona. Hanya dengan cara itu kau bisa melepaskan diri dari para pengejar...”

Kaleena mundur selangkah, menatap Dhanapati. Tatapannya tajam, seperti ingin mengiris tubuh.  “Bicaralah. Aku mendengarkan...”

“Begini,”  Dhanapati berujar pelan, mencoba mencari kata-kata yang tepat. Melihat tatapan Kaleena, pemuda itu tahu, jika dia salah bicara, nyawanya mungkin akan melayang. “Setiap wilayah, setiap daerah, punya adat dan kebiasaan masing-masing. Di sini, di Jawadwipa, kita terbiasa tidak mengenakan penutup tubuh di bagian atas. Ini berlaku tidak hanya laki-laki, namun juga perempuan. Mungkin berbeda dengan daerah lain, namun di sini, bukanlah sesuatu yang melanggar norma kesusilaan jika perempuan tidak mengenakan penutup tubuh bagian atas....”

Dhanapati menatap Kaleena. “Kau pasti telah melewati beberapa dusun sebelum tiba di sini bukan? Berarti kau telah melihat bagaimana perempuan di Majapahit berbusana. Sebagian memang sudah mengenakan penutup dada, namun masih banyak yang tidak....”

“Dan kau ingin aku berpura-pura menjadi perempuan Jawadwipa?”

“Benar. Jika ingin meloloskan diri dari para pengejar, kau harus menyamar. Mereka mencari perempuan asing yang mengenakan pakaian merah warna-warni. Mereka pasti tidak akan menyangka kalau penampilan perempuan yang dikejar sudah berubah...”

Kaleena menarik nafas panjang, menimbang-nimbang. “Rasanya kau benar. Tapi... Aku harus ke kota raja, dan menyerahkan persembahan untuk Raja Majapahit. Bagaimana aku bisa ke Trowulan dengan setengah telanjang?”

“Kau jangan khawatir. Seperti aku bilang tadi, bukan sesuatu yang melanggar adat jika perempuan Majapahit tidak mengenakan penutup dada. Di Trowulan, masih banyak perempuan keraton yang tampil di depan umum tanpa mengenakan pakaian atas. Ibusuri kerajaan, ibunda yang mulia Raja Majapahit jika bepergian tak pernah mengenakan penutup tubuh bagian atas. Beberapa kerabat  Baginda juga begitu. Juga istri Yang Mulia Mahapatih...”

“Baik, aku mengerti...” Kaleena perlahan membuka pakaiannya. “Tapi, aku tak punya kain...”

“Aku punya. Kau bisa memakai ini,” kata Dhanapati sambil menyerahkan kain halus berwarna biru tua. Sesaat sebelum berpisah, ketiga Dara masing-masing memberikan kain untuknya. Kain lembut yang berbau harum.

“Eh, kau jangan mengintip. Pergi sana...”

Sambil tersenyum Dhanapati meninggalkan perempuan itu, memasuki hutan.

Ketika dia kembali, Kaleena sudah membuka pakaiannya. Dia hanya mengenakan kain biru untuk menutupi pinggulnya. Di pinggang dia mengenakan semacam sabuk berwarna hitam. Kedua lengannya menutupi dada.

“A... aku tak bisa...” Wajah gadis itu bersemu merah.  “Ini pertama kali aku membuka pakaian di depan laki-laki...”

Dhanapati mengangguk penuh simpati. “Mungkin ada baiknya jika kau mengenakan ini,” ujar Dhanapati sambil mengangsurkan ‘kalung’ yang terbuat dari beraneka kembang. “Kendati tidak mengenakan pakaian, namun perempuan Jawadwipa suka menghiasi tubuhnya dengan beraneka kalung.”

kalung-bunga

Kaleena menerima kalung itu, dan memakainya. Kalung itu memang pas sekali menutupi sebagian dadanya. Dia menatap pemuda itu.

“Ah, kau begitu baik. Maafkan kalau aku tadi telah besikap kasar. Eh, siapa namamu tadi?”

“Namaku Dhanapati,” ujarnya sambil tersenyum. Kalung beraneka kembang yang dikenakan membuat gadis itu makin cantik. Walau tentu saja kalung itu tak bisa sepenuhnya menutupi sepasang bukit kembar yang mengacung penuh.

“Kau sudah terlihat seperti perempuan Jawadwipa. Tapi...”

“Tapi kenapa?”

“Kulitmu terlalu putih. Kulit perempuan Majapahit tidak seperti itu.”

“Lalu apa yang harus kulakukan? Berjemur di bawah terik matahari?”

Dhanapati menggeleng. “Kita tak punya waktu untuk berjemur. Tapi aku punya jalan keluar...” Dhanapati  mengambil ramuan daun, batang dan ranting yang tadi ditumbuknya sebelum kedatangan Kaleena. Dia mencampurkan sejumput ramuan itu dengan air.

“Oleskan ramuan ini, dan tubuhmu akan berubah warna seperti perempuan Jawadwipa...”

Dengan hati-hati gadis itu mengambil ramuan, dan mengoleskan ke lengannya. Bagian yang terkena segera berubah warna.

“Wah. Ini bagus. Tapi berapa lama ramuan ini akan tahan?”

“Tidak lama. Hanya lima tahun”

“Lima tahun?” Kaleena terbelalak.

“Haha. Aku bercanda. Ramuan ini akan hilang jika terkena air. Jika kau mandi, ramuan ini akan lenyap”

Kaleena nampak lega. Dia mengoleskan sekujur tubuhnya. Juga kaki.

“Eh, aku tak bisa mengolesi punggung. Coba kau bantu aku...”

Dengan senang hati Dhanapati mengolesi punggung gadis itu, yang terasa sangat halus. Gadis itu berkali-kali menggelinjang kegelian.

“Kau sudah, sekarang giliranku,” kata Dhanapati. Dia mengambil ramuan dan mengoleskan ke pipi. Dia sengaja mengoleskan dalam jumlah yang banyak. Dalam sekejap, ramuan itu mengering dan meninggalkan tanda seperti bekas luka yang aneh.

“Ah kau jadi jelek. Aku lebih suka wajahmu yang tadi...” kata Kaleena. Dan dia segera tersadar. “Kenapa kau juga menyamar? Apakah kau juga dikejar musuh?”

“Ceritanya panjang,” kata Dhanapati. Dia segera mengambil pakaian gadis itu, melipatnya hingga menjadi kecil, dan mengikatkan sebongkah batu. Dia kemudian melemparkan pakaian yang sudah diberi pemberat itu ke sungai.

Dengan nanar Kaleena melihat pakaian indahnya yang perlahan tenggelam ke dasar sungai.

“Sekarang aku benar-benar harus menjadi perempuan Jawadwipa,” bisiknya lirih.  Dia menatap Dhanapati. “Eh, apakah aku juga harus mengganti nama? Tidak mungkin kan aku mengaku bernama Kaleena?”

Dhanapati mengangguk, kagum karena gadis itu bisa dengan cepat menyesuaikan diri.

“Iya. Kepada orang lain kau harus punya nama. Bukan Kaleena tentu saja. Mmmm.... Nama apa yang cocok untukmu? Ah, Surti saja. Namamu Surti".

“Dan kau, apa nama barumu?”

“Mmm apa ya? Mungkin kau panggil Prabu Wijaya saja...”

“Aku Surti dan kau Prabu Wijaya?”

“Ah tidak cocok ya? Tejo, panggil saja aku Tejo, bukan Prabu Wijaya (walau tidak cocok, ratusan tahun kemudian Surti dan Prabu Wijaya menjadi nama dari karakter sinetron yang terkenal karena disukai sekaligus dibenci, hehehe ;) )

***



Matahari mulai terasa terik. Dhanapati dan Kaleena menyusuri jalan utama, berupa setapak yang membelah hutan. Sambil berjalan keduanya berbincang hangat. Kaleena menceritakan bagaimana sukarnya dia mempelajari bahasa Jawadwipa, ketika ditugaskan untuk menjadi anggota yang akan membawa persembahan untuk Raja Majapahit. Dia belajar tanpa henti, siang malam, dipandu empat guru yang sengaja didatangkan dari Majapahit.

“Sekarang  aku mengerti kenapa kau bisa lancar berbahasa Jawadwipa,” kata Dhanapati. Mereka kini tiba di jalan menikung. Hutan mulai menipis dan di kejauhan nampak sawah menghampar.

“Ada yang datang,” bisik Kaleena.

Dhanapati memicingkan matanya. Dari kejauhan dia melihat debu yang mengepul. Beberapa lelaki mengendarai kuda datang dengan cepat.

“Itu mereka,” bisik Kaleena. Jemarinya mencengkeram lengan Dhanapati. “Itu mereka yang selama ini mengejarku...” (bersambung)

(gambar diambil dari palembangflorist)

5 Comments:

  1. mechta said...
    Hm..jadi mode topless tu pelestarian budaya to? Hehe..
    Ayahnya Ranggasetya said...
    ini kok main episode kek di film?

    surti tejo mengingatkan aku sama lagunya jamrud, hehe...
    padepokanrumahkayu said...
    @mechta, hehehe ;) ~k

    @ayahnyarangga, surti-tejo memang terinspirasi lagu itu. tapi hanya namanya dan bukan kisah di lagu itu, hehehe :) ~k
    wi3nd said...
    jiaaaahh..ada surti dan tuan prabu xixiixix
    Rara said...
    Haha ,, smart b9d n9aitin crita masa Lalu sm sm kini ....
    SuRti poLiandriin tedjo sm tuan pRabu yak :p

Post a Comment