“Bersikap tenang,” bisik Dhanapati. “Tetaplah menunduk. Kita harus bersikap seperti petani dari desa...”
Derap kuda makin mendekat. Ada sembilan penunggang kuda yang datang bagai badai. Seperti yang diduga Dhanapati, para penunggang kuda ini hanya melirik sekilas dan dalam sekejap mereka lenyap.
Walau hanya lewat dalam sekelebat, namun mata Dhanapati yang tajam sempat menyimak. Dan dia terkejut.
“Hmmm... Aneh sekali,” gumam Dhanapati. “Mereka itu, ada yang dari Aliran Batu Hitam, Padepokan Bambu Hijau, Perkumpulan Melati dan Pesanggrahan Keramat. Bagaimana keempat kelompok yang berbeda itu bisa berjalan bersama?”
“Aliran Batu Hitam? Padepokan Bambu Hijau? Kamu bicara apa?” bisik Kaleena. Suaranya terdengar bergetar, pertanda rasa tegangnya belum sepenuhnya sirna.
“Di Jawadwipa, setiap aliran atau perkumpulan silat punya ciri khas tersendiri, yang juga menjadi semacam tanda pengenal bagi pihak lain,” jelas Dhanapati. “Aliran Batu Hitam misalnya, mereka biasa tampil dengan busana serba hitam dengan sabuk warna putih yang melintang di dada. Padepokan Bambu Hijau berpakaian serba hijau dan menggondol bambu hijau yang dijadikan senjata. Perkumpulan Melati mengenakan penutup kepala yang terbuat dari rangkaian bunga melati. Pesanggrahan Keramat, pada kedua lengan digambari lukisan ular berkepala tiga yang melingkar. Tapi sepanjang yang aku tahu, keempat kelompok itu tak pernah bekerja sama. Bagaimana mungkin mereka bisa menjadi satu rombongan dan mengejarmu?”
Kaleena mengangkat bahunya. “Bagaimana aku tahu? Aku juga pendatang di sini, ingat? Tapi, bagaimana kau bisa mengetahuinya? Jadi benar dugaanku, kau pasti bukan pemuda biasa...”
“Aku tahu, karena dulu pekerjaanku mengharuskan aku mengenal semua perkumpulan dan kelompok beladiri di Jawadwipa dan sekitarnya. Tapi itu dulu. Sekarang tidak lagi...”
“Apa yang terjadi?”
Dhanapati menimbang-nimbang, dan akhirnya memutuskan untuk menceritakan siapa dia kepada Kaleena. Mereka kini ditakdirkan bersama, dan tak ada salahnya Kaleena mengetahui latar belakangnya. Gadis asing ini mempercayakan nasibnya kepadanya. Dan tak ada ruginya Dhanapati juga melakukan hal yang sama.
“Ah, sekarang aku mengerti kenapa aku merasakan ada gejolak yang aneh di dadamu,” kata Kaleena setelah mendengar cerita Dhanapati. “Kau terluka parah dan bisa disembuhkan. Sayang pengobatanmu belum sempurna. Tenaga saktimu tersumbat.”
“Kelihatannya begitu. Dadaku terasa sesak jika aku mencoba mengerahkan tenaga sakti.”
“Hmmm....” Kaleena nampak termenung. “Setelah mengetahui siapa para pengejar, sekarang aku mengerti kenapa mereka mengejarku. Mereka pasti mengincar persembahan yang akan kuberikan untuk Raja Majapahit...” Kaleena membuka sabuk hitamnya, dan mengeluarkan sebuah benda, yakni batang kayu sepanjang dua jengkal, berdiameter selebar jempol.
“Ah, benda apa itu?”
“Ini batang Kramca Dirva (Pohon Surga), tanaman langka yang hanya tumbuh di Himalaya. Tanaman ini sangat berkhasiat, terutama untuk para raja atau kaisar yang memiliki banyak selir atau istri. Dengan memakan sedikit saja, akan membuat raja menjadi sangat perkasa.”
“Aku mengerti,” kata Dhanapati. “Lalu kenapa para pendekar itu mengejarmu dan ingin merebut batang kayu itu?”
“Begini. Bagi pihak yang tak bisa beladiri, batang Pohon Surga ini fungsinya hanya untuk menambah keperkasaan. Namun jika dikonsumsi ahli bela diri, sepenggal batang ini akan menambah tenaga sakti yang setara dengan latihan bertahun-tahun...”
“Oh, kalau begitu jelas sudah. Dan sekarang aku mengerti kenapa keempat kelompok itu bergabung. Tentu mereka ingin membagi batang pohon itu.”
“Iya. Dan memang seseorang hanya boleh mengkonsumsi sepenggal kecil. Jika berlebihan, tubuh tak akan mampu menyerap dan justru akan mematikan...” Kaleena kemudian mematahkan batang itu, dan memberikan potongan kecil kepada Dhanapati.
“Ini, kunyahlah. Kemudian atur nafasmu.”
“Ka... kau... Apa yang kau lakukan?” Dhanapati menatap tak mengerti.
“Tenaga saktimu tersumbat. Namun aku yakin, jika kau mengunyah ini jalan darahmu akan menjadi sangat lancar. Tapi kau harus mengerahkan perlahan-lahan.”
Dhanapati menatap batang itu dan menoleh ke Kaleena, berganti-ganti. Dia nyaris tak percaya dengan apa yang didengarnya. Gadis ini mati-matian melarikan diri demi menyelamatkan benda ini, namun kini dengan mudahnya dia mematahkan dan memberikan potongan kecil kepadanya!!
“Ta.. tapi bukankah batang pohon ini harus kau serahkan kepada Baginda?”
“Iya. Benar. Namun Raja Majapahit tak akan mengetahui jika ada yang hilang bukan? Ambilah,” Kaleena mengangsurkan penggalan batang itu kepada Dhanapati. “Dari ceritamu, para pengejar pastilah berilmu tinggi. Aku terpisah dari rombonganku. Hanya kaulah satu-satunya yang bisa menolongku. Akan lebih mudah bagi kita berdua menghadapi musuh jika ilmu beladirimu pulih. Jadi ambilah. Ini bukan hanya untuk kepentinganmu tapi untukku juga...”
Dengan ragu Dhanapati menerima potongan batang berkhasiat itu.
“Kau kunyah perlahan-lahan. Kemudian kita cari lokasi yang sepi tempat engkau mengatur nafas dan memulihkan diri,” kata Kaleena.
Dhanapati mengangguk dan perlahan dia mengigigit batang itu dan mengunyahnya perlahan. Terasa manis, agak sepat. Dia menelan, dan segera merasakan ada aliran energi yang bergejolak di dada.
***
Mereka meninggalkan jalan utama, memasuki hutan yang tidak terlalu rapat. Setelah menemukan tempat yang cocok Dhanapati segera bersemadi. Lengan kanannya diletakkan ke permukaan tanah dan menyangga tubuh. Kedua kaki dibengkokkan mendekati pundak.
Dia mengatur nafas, dan mencoba mengendalikan energi yang membanjir di dada dan bawah perut. Kaleena ternyata tidak mengada-ada. Potongan kecil yang dikunyahnya benar-benar berkhasiat. Hanya dalam sekejap dia berhasil mengendalikan energi yang tadinya membanjir. Dan setelah dua puluh kali menarik dan membuang nafas, hambatan pada tenaga sakti di dada akibat luka dalam berhasil dibobol. Dia kini sembuh!! Benar-benar sembuh!!
Dhanapati merasa tubuhnya segar. Sangat segar. Dia juga merasa gerah. Dadanya berdebar.
“Bagaimana?” Kaleena bertanya. “Kau berhasil menembus hambatan pada tenaga saktimu?”
“Iya. Pohon Surga milikmu benar-benar hebat. Tak heran banyak yang berusaha merebutnya,” kata Dhanapati sambil menatap Kaleena. Dan tiba-tiba Dhanapati berdebar. Gadis itu terlihat lebih cantik. Sepasang bukit di dadanya kini nampak makin membusung.
“Huh, kau jangan coba-coba berpikir yang tidak-tidak,” Kaleena membentak. “Cepat, atur nafasmu dan jangan biarkan pikiran yang tidak-tidak memenuhi benakmu!!”
Dhanapati tersipu. Ah, tanaman ini selain berkhasiat juga sangat berbahaya. Untuk sesaaat, tanpa disadari Dhanapati telah dikuasai nafsu birahi. Untunglah Kaleena rupanya sudah bisa menduga.
Dhanapati kembali mengolah nafas. Setelah pulih, dia kini menyangga tubuh hanya dengan jari telunjuk. Sepenanak nasi kemudian Dhanapati bangkit. Dia merasa tubuhnya ringan. Ada semacam semangat yang berkobar di dada. Dia merasa ingin melompat tinggi. Tinggi sekali.
“Bagus,” kata Kaleena. Wajahnya berseri. Mulut gadis cantik itu tersenyum girang. “Tubuhmu sudah menyerap khasiat batang Pohon Surga. Ilmu beladirimu tak hanya pulih, namun tenaga saktimu pasti telah meningkat berlipat ganda.”
“Aku tidak tahu bagaimana harus berterima kasih kepadamu Kaleena,” kata Dhanapati.
“Hei, kau bicara apa? Kita orang sendiri, jadi tak ada hutang budi. Aku menolongmu agar kau bisa menolongku. Jadi kau tak berhutang apa-apa kepadaku...”
Mereka melanjutkan perjalanan. Setelah Dhanapati sembuh, kepercayaan diri Kaleena bangkit. Berbeda dengan sebelumnya, kini mereka berjalan dengan kepala tegak.
“Hei, kau dengar itu? Seperti suara orang berkelahi,” kata Dhanapati.
“Di mana?” Kaleena berkata heran. Jika pemuda ini bisa mendengar sesuatu yang tidak didengarnya, berarti tidak sia-sia dia memberikan potongan batang Pohon Surga. Ilmu bela diri pemuda ini telah bertambah tinggi!!
“Di sebelah sana. Ayo kita lihat,” ujar Dhanapati sambil melompat. Dan dia nyaris terpekik. Tubuhnya terasa sangat ringan. Bahkan terlalu ringan hingga dia sempat tak bisa mengendalikan!! Dhanapati cepat-cepat mengendalikan tubuhnya. Walau dengan agak susah payah, dia akhirnya bisa bisa mengatur kecepatan.
***
Yang didengar Dhanapati memang pertempuran. Atau tepatnya pengeroyokan. Seorang lelaki muda yang bersenjata pedang bersinar dikeroyok belasan laki-laki yang mengenakan kain kasar. Pemuda yang dikeroyok mengenakan jubah panjang berwarna putih yang aneh. Rambutnya keemasan. Jelas dia bukan berasal dari Jawadwipa.
“Jika sayang nyawa, cepat serahkan pedangmu itu anak muda,” Seorang lelaki brewokan berujar kasar. Dia berdiri menyaksikan rekan-rekannya mengeroyok.
“Huh, aku lebih memilih mati daripada harus menyerahkan pedangku...” jawab si pemuda sambil memutar pedangnya. Putaran pedang menimbulkan suara mendengung aneh.
“Rupanya pemuda itu akan dirampok. Ayo kita bantu dia,” bisik Dhanapati.
Kaleena mengangguk. Walau sedikit berbeda, namun situasi yang dihadapi pemuda itu nyaris sama dengan yang dialaminya. Rupanya di Jawadwipa ini merampas milik orang lain merupakan hal yang ‘biasa’.
Nyaris bersamaan Dhanapati dan Kaleena memasuki gelanggang pertempuran. Di luar dugaan, para pengeroyok ternyata tidak terlalu tangguh. Hanya dalam sekejap mereka dilumpuhkan, termasuk si brewok yang segera melarikan diri.
“Terima kasih atas pertolongan kalian,” ujar si pemuda asing. “Walau sebenarnya aku tidak membutuhkan itu. Aku justru ingin menggunakan mereka untuk menguji ilmu pedangku...” Sambil berbicara dia menggerakkan pedangnya. Dan dalam sekejap pedang sinarnya telah lenyap, tinggal berupa gagang pendek.
“Ah, maaf kalau kami telah bertindak lancang,” kata Dhanapati. Berbeda dengan Kaleena yang nampak kagum, Dhanapati sama sekali tidak merasa heran melihat pedang sinar si pemuda yang seketika berubah menjadi pendek. Dhanapati beberapa kali melihat hal seperti itu. Terakhir, teknik itu digunakan Gerdo Wesi, perampok dari Blambangan. Gerdo Wesi memiliki senjata gada besi yang mematikan. Namun jika terdesak, gada besi bisa berubah menjadi tombak bermata tiga. Setelah Gerdo Wesi tewas, Dhanapati memeriksa senjatanya. Ternyata di gada itu ada semacam tombol yang dilengkapi pegas, yang memungkinkan munculnya tombak yang tadinya ada di dalam gada. Dhanapati yakin, walau mungkin caranya berbeda, namun prinsip kerja pedang sinar si pemuda itu mirip dengan gada yang digunakan Gerdo Wesi.
“Namaku Dhanapati dan ini rekanku Kaleena. Kami tak sengaja mendengar suara perkelahian. Dan telah bertindak lancang. Maafkan kami...”
“Ah tidak. Tidak. Saudara tidak bersalah,” si pemuda cepat-cepat membungkukkan tubuhnya penuh hormat. “Aku justru merasa senang ada yang berkenan membantu. Namaku Lu. Lu Sekai ...”
“Saudara kelihatannya bukan dari Jawadwipa...”
"Benar. Aku datang dari negeri yang jauh. Jauh sekali. Aku ke sini untuk memperdalam ilmu pedang guna mengalahkan penjajah yang menguasai negaraku...”
“Wah, saudara datang jauh-jauh khusus untuk mempelajari ilmu pedang negara kami?” Dhanapati bertanya heran bercampur kagum. Dan juga bangga.
“Iya. Tetua di negaraku mengatakan, untuk bisa menguasai ilmu pedang, aku harus mendalami Jalan Pedang. Dan aku kemudian dituntun ke tempat ini. Aku beruntung karena mendapat panduan dari guru agung yang perkasa.
“Guru agung yang perkasa? Siapa dia?”
“Heh.. heh... heh... Guru agung? Perkasa? Apa artinya semua sapaan kosong itu?” Suara lirih tiba-tiba terdengar di belakang Dhanapati dan Kaleena. Kedua anak muda itu serentak berbalik, dan terkejut bukan main. Entah sejak kapan, di belakang mereka telah duduk seorang kakek tua renta yang tubuhnya kurus kering. Rambutnya yang memutih panjang terurai. Dia hanya mengenakan kain kasar berwarna kuning yang menutupi pinggang. Kakek yang bersila di atas tanah itu tersenyum ramah, memperlihatkan giginya yang masih utuh.
Dhanapati segera membungkuk penuh hormat. “Tetua, hamba Dhanapati memohon maaf telah merusak pelajaran Ilmu Pedang dari rekan Lu Sekai...” Dhanapati bukanlah pemuda yang suka mencari muka. Namun fakta bahwa si kakek bisa berada di belakangnya tanpa dia ketahui, membuktikan kalau kakek renta ini pastilah dari golongan tua yang sakti mandraguna.
“Heh.. heh.. heh... Ilmu Pedang adalah Jalan Pedang. Dan jalan itu tak berujung, bisa membawa siapa saja. Jodoh dan kematian itu takdir. Namun perjumpaan adalah anugerah...”
Dhanapati menatap kakek itu, mencoba mencerna kata-katanya. Dan seketika matanya bersinar. Dia menggamit Kaleena dan memaksanya untuk ikut bersila.
“Kami, Dhanapati dan Kaleena memohon pengajaran...”
Kakek itu mengelus jengotnya yang panjang dan menatap Dhanapati dengan tajam. “Ah, wajahmu tampan namun berbalut duka. Tubuhmu diselimuti kegelapan dan dendam. Masa depanmu akan ditentukan oleh pertarungan antara dendam dan cinta. Kau beruntung mendapat obat langka tiada tara. Namun itu tak akan berarti jika kau membiarkan dendam meracuni hidup. Dan kau gadis cantik, hidupmu diselimuti petualangan. Kau juga akan dibalut cinta yang membara. ...”
Dhanapati dan Kaleena saling pandang. Kakek ini sungguh bermata tajam!!
“Kami yang muda memohon pengajaran...”
“Jalan Pedang itu berliku. Tajam namun tumpul. Cepat namun pelan. Dia seperti aliran air yang mampu menembus batu. Namun juga bisa membeku. Kecepatan mengalahkan kelembutan, kerendahan mengalahkan kesombongan. Yang kiri itu memutar dan kanan berbalik. Langkah kaki ke depan akan membuat perbedaan. Mundur ke kanan akan menjadi terang....”
Dhanapati, Kaleena dan Lu Sekai menyimak penuturan kakek itu dengan teliti. Walau tak sepenuhnya paham namun mereka bisa menduga kalau wejangan yang sepintas seperti tak beraturan itu sebenarnya merupakan teori ilmu silat.
Dugaan ketiga anak muda ini benar. Mereka tentu saja tidak tahu, kalau wejangan yang mereka dengar sebenarnya merupakan teori dari ilmu pedang nomor satu di Jawadwipa, yakni Jalan Pedang. Ilmu langka yang pernah menggemparkan Nusantara ratusan tahun lalu.
Sepembakaran dupa kemudian, kakek aneh itu menghentikan wejangannya.
“Lu Sekai, dan kau Dhanapati, cobalah mempraktekkan apa yang barusan kalian dengar. Lu, tutup matamu dengan sabuk hitam milik gadis ini...”
Dengan bingung Lu Sekai menutup matanya.
“Dhanapati, gunakan ranting pohon sebagai senjata. Dan kau serang Lu Sekai. Serang dengan sekuat tenaga...”
Dhanapati mematahkan ranting potong seukuran pedang. Dan dengan termangu dia berdiri di depan Lu Sekai yang matanya tertutup kain. Pemuda asing itu telah menghunus pedang sinarnya.
“Kau serang dia...”
“Baik. Lu Sekai, terima ini...” Dhanapati memutar kayunya dan melakukan gerakan menghujam.
“Craaakkk...” Lu Sekai menangkis dan senjata kayu milik Dhanapati patah menjadi dua.
“Gunakan tenaga sakti, dan jangan sekali-kali meremehkan pemuda itu. Pedangnya hebat. Juga jurusnya...” terdengar suara si kakek.
Sambil tersipu Dhanapati mengambil kayu yang lain, mengeluarkan daunnya, dan kembali menyerang. Kali ini dia menyerang dengan sungguh-sungguh. Lubuk hatinya sebenarnya tidak mengijinkan dia menyerang seorang pemuda yang matanya tertutup. Namun Dhanapati percaya sepenuhnya kepada si kakek aneh. Lagipula, ini kesempatan baginya untuk menguji tenaga sakti, yang meningkat setelah dia mengunyah batang Pohon Surga.
Serangan Dhanapati datang bagai gelombang, memutar dan mengiung. Namun Lu Sekai tidak goyah. Pemuda asing itu hanya menggerakkan pedang sinarnya sekali-sekali. Namun setiap gerakan sederhana yang dilakukan mampu mematahkan serangan Dhanapati.
Dhanapati adalah pendekar yang biasa mnyerang dengan pedang. Kini dia terpaksa menggunakan ranting pohon. Ketangguhan serangan tentu berkurang banyak. Namun itu tidak menjadi masalah. Kayu atau pedang, gerakannya sama dan dampak kerusakan yang bisa ditimbulkan juga sama.
“Cukup. Cukup. Hentikan!!” kata si kakek.
Dhanapati dan Lu Sekai melompat mundur. Keduanya berkeringat dan terengah. Lu Sekai yang membuka penutup matanya tersenyum.
“Masih belum sempurna, namun kalian telah mengetahui esensi dari Jalan Pedang. Yang harus kalian ingat, jangan sekalipun menganggap pedang sebagai senjata. Kau harus menganggapnya sebagai bagian dari tubuhmu. Sebagai bagian dari nafas dan pikiranmu. Pedang, atau senjata apapun yang kalian pegang harus benar-benar menyatu dengan pikiranmu...”
***
Petang itu mereka habiskan waktu dengan berlatih. Setelah Lu Sekai melawan Dhanapati, giliran Lu Sekai menghadapi Kaleena. Kemudian Kaleena melawan Dhanapati. Pada ronde terakhir, si kakek memerintahkan mereka bertiga untuk saling serang.
Latihan perkelahian segitiga ini berlangsung aneh. Namun ketiga anak muda ini melakoni dengan gembira.
“Heh..Heh... heh... Dewata selalu bekerja dengan misterius. Siapa sangka di ujung nafasku aku masih diberi kesempatan untuk membagikan ilmu....” Si kakek berujar senang.
“Maaf, bolehkah murid mengetahui siapa nama guru yang mulia?” Dhanapati berujar penuh hormat. Sejak bertemu, dia sudah mencoba menebak-nebak siapa kakek sakti ini. Namun sejauh ini dia masih dipenuhi keraguan.
“Apalah artinya sebuah nama? Apa artinya sebutan guru atau murid? Semua hanya istilah. Dan semua akhirnya akan lenyap. Sama artinya dengan perjumpaan kita. Pertemuan adalah jodoh, dan perpisahan adalah kenyataan...”
Kakek aneh itu menatap Lu Sekai. “Pemuda asing, kau punya tugas maha berat. Musuh terbesarmu bukanlah orang lain, tapi bagian dari darah dan dagingmu. Semoga Maha Terang akan menerangi jalanmu. Kau pergilah, tunaikan tugasmu...”
“Sekarang? Aku harus pergi sekarang?” Lu Sekai bertanya heran.
“Sekarang atau besok apakah bedanya? Toh semua harus dijalani bukan? Dan kalian berdua, jalan kalian akan berliku. Amarah, cinta dan kesombongan hanyalah perasaan. Dan jangan sampai perasaan meracuni hati. Selamat tinggal. Semoga Yang Maha Terang akan bersama kalian...” setelah terbatuk-batuk, kakek itu berkelebat. Menghilang.
Sesaat, suasana terasa sunyi. Bunyi binatang malam mulai terdengar menghiasi kegelapan yang perlahan menutupi jagad.
“Aku rasa, sekarang saatnya untuk berpisah,” kata Lu Sekai. “Senang bisa berkenalan dengan kalian. Semoga kelak kita bisa bertemu dalam situasi yang lebih menyenangkan...” Dengan akrab dia menepuk pundak Dhanapati, dan membungkuk penuh hormat kepada Kaleena.
“Kau hendak ke mana? Sekarang sudah malam.”
“Seperti kata kakek guru tadi, sekarang atau besok tak ada bedanya. Siang dan malam hanyalah perasaan belaka. Aku harus pergi. Selamat tinggal...”
Setelah membungkuk penuh hormat, Lu Sekai berbalik, menembus hutan dan lenyap dalam kegelapan. Tinggal Dhanapati dan Kaleena yang untuk sejenak saling pandang. Dhanapati segera berinisiatif membuat api unggun, dibantu Kaleena. Karena sibuk membuat api, mereka tidak melihat benda aneh yang muncul dari hutan, melintasi cakrawala dan lenyap menembus bintang. (bersambung)
*Catatan: Ratusan tahun kemudian, kisah petualangan Lu Sekai dijadikan film oleh sineas Hollywood, George Lucas. Petualangan Lu Sekai yang dibuat dalam tiga bagian itu sukses besar dan menjadi trilogi tersukses sepanjang sejarah. Karena pertimbangan tertentu, George Lucas sengaja tidak menceritakan kedatangan Lu Sekai ke Jawadwipa.

Di film itu, Lu Sekai yang bersenjata pedang sinar disebut sebagai kesatria Jedi yang terakhir, dan namanya dituliskan sebagai.....(ada yang bisa nebak? Hehehe ;) )*
Labels: cerita silat, cersil, darah di wilwatikta, lu sekai, pedang, pohon surga
horee..semakin seruuu...
seru, kebayang suasananya kayak gmana gitu...
ehm, sempat menduga kaleena akan jatuh hati sama lu sekai.
btw diingatkan tentang wiro sableng, kayaknya menarik juga ya jika si pendekar sableng ini dijadikan bintang tamu di padepokan? hehehe ;)
*jiaah komen gak nyambung ehehh