Eps 39. Utusan Para Pembawa Kegelapan

GULITA malam memeluk ribuan pepohonan yang memenuhi hutan di bibir tebing yang berbatasan dengan sebuah samudera.

Mohiyang Kalakuthana melangkah keluar dari pondok kayu yang terletak di hutan tersebut. Beberapa tombak di belakangnya, Kiran mengamati dengan waspada. Tangannya menggenggam selendang halus berwarna pelangi yang terikat di pinggangnya.

Kiran melihat Mohiyang berjalan dengan kecekatan yang mengagumkan. Tak tampak sama sekali bahwa usianya sudah lanjut. Dia melangkah cepat, hampir tanpa suara. Menunjukkan ketinggian ilmu yang dimilikinya.

Mohiyang telah meminta Kiran untuk membiarkannya mencari sumber suara dari luar pondoknya. Tapi tentu saja Kiran tak dapat membiarkan nenek tua itu melakukan hal tersebut sendirian. Segera setelah sosok Mohiyang tak lagi tertangkap oleh pandangnya, Kiran melangkah keluar pondok.

Kiran menajamkan pendengarannya. Diantara gerisik daun dan suara debur ombak, didengarnya dia dapat menangkap beberapa suara bersahutan dari arah kemana Mohiyang menuju tadi. Satu diantaranya jelas suara serak Mohiyang Kalakuthana. Kiran tak dapat menangkap jelas apa yang mereka percakapkan. Dia hanya dapat mendengar suara seorang laki- laki berkata “ serahkan… “ , disusul jawaban yang tak dapat tertangkap jelas kata- katanya dari Mohiyang Kalakuthana.

Kiran meningkatkan kewaspadaannya, sebab walau tak terdengar apa yang dipercakapkan, dari nada suaranya, Kiran dapat menangkap bahwa Mohiyang tak sepakat dengan apa yang dikatakan lelaki tersebut.

dark-forest

Kiran melangkah lagi sambil terus berusaha mendengarkan. Tapi tak lagi didengarnya suara percakapan. Rupanya percakapan itu tak panjang. Kiran bahkan baru berjalan sekitar tiga langkah ketika tiba- tiba terdengar suara “ akkhhhh… “ yang panjang dari beberapa orang, bersahutan hampir serentak , disusul suara bergedebukan seperti ada sesuatu yang berat terjatuh.

Kiran tak lagi berjalan kini. Dia melompat dan melayang dengan ringan, bersegera menuju arah sumber suara.

Saat dia tiba disana, Kiran melihat Mohiyang Kalakuthana berdiri diantara pepohonan. Di hadapannya, di atas tanah tergeletak lima lelaki berpakaian hitam. Kesemuanya telentang dengan darah mengalir keluar dari hidung dan mulut mereka.

Eps 38. Airmata Dewa yang Murka

MALAM datang seperti mimpi. Kegelapan menyelimuti persada, menghadirkan bayang-bayang mistis, seperti penari yang datang dari alam lain.

Dhanapati dan Kaleena baru saja menyantap ayam hutan panggang. Ayam hutan itu ditangkap Dhanapati ketika dia mencari sumber air. Ayam hutan jantan yang lumayan besar. Dan ternyata rasanya gurih. Dagingnya lembut kendati terasa agak tawar.

“Kelihatannya akan hujan,” kata Kaleena sambil menatap langit. Tak satupun bintang yang terlihat. Awan mendung pekat seperti cendawan raksasa yang menutupi cakrawala.

“Iya, ayo kita cari tempat untuk berteduh,” kata Dhanapati. Di hutan seperti ini, sangat kecil kemungkinan untuk mendapatkan tempat berteduh. Namun Dhanapati berharap bisa menemukan kuil atau candi, atau setidaknya sebuah dangau sederhana.

Namun alam rupanya menghendaki lain. Belum sempat keduanya beranjak, rintik hujan sebesar biji jagung turun ke bumi. Awalnya hanya beberapa. Namun seketika menjadi semakin banyak. Hujan lebat turun bagai airmata dewa yang murka.

Eps 37. Kabar Tentang Kalung Yang Dicuri

GEMERISIK dedaunan, suara serangga dan debur ombak meningkahi malam.

Mohiyang Kalakuthana duduk di tepi dipan, menatap tajam pada Kiran yang tangannya sudah terjulur hendak membuka kait pintu.

" Mau kemana, cah ayu? " tanya Mohiyang, sang ratu racun, pada Kiran.

Kiran memberikan isyarat. Menunjuk ke arah luar. Dengan segera Mohiyang Kalakuthana mengerti maksud Kiran. Dengan kecepatan dan kecekatan yang mengagumkan mengingat umurnya yang sebetulnya sudah tua, Mohiyang Kalakuthana turun dari dipan dan dalam sekejap telah berada di samping Kiran.

" Mundur, cah ayu, " desis Mohiyang pada Kiran, " Biar kutangani mereka... "

Kiran menurut. Dia mundur selangkah, namun dengan sikap tetap waspada. Dengan cepat dia mengeluarkan sehelai selendang berwarna pelangi dari balik kain yang dia gunakan dan mengikatkan selendang tersebut di pinggangnya...