MALAM datang seperti mimpi. Kegelapan menyelimuti persada, menghadirkan bayang-bayang mistis, seperti penari yang datang dari alam lain.
Dhanapati dan Kaleena baru saja menyantap ayam hutan panggang. Ayam hutan itu ditangkap Dhanapati ketika dia mencari sumber air. Ayam hutan jantan yang lumayan besar. Dan ternyata rasanya gurih. Dagingnya lembut kendati terasa agak tawar.
“Kelihatannya akan hujan,” kata Kaleena sambil menatap langit. Tak satupun bintang yang terlihat. Awan mendung pekat seperti cendawan raksasa yang menutupi cakrawala.
“Iya, ayo kita cari tempat untuk berteduh,” kata Dhanapati. Di hutan seperti ini, sangat kecil kemungkinan untuk mendapatkan tempat berteduh. Namun Dhanapati berharap bisa menemukan kuil atau candi, atau setidaknya sebuah dangau sederhana.
Namun alam rupanya menghendaki lain. Belum sempat keduanya beranjak, rintik hujan sebesar biji jagung turun ke bumi. Awalnya hanya beberapa. Namun seketika menjadi semakin banyak. Hujan lebat turun bagai airmata dewa yang murka.
Dhanapati dan Kaleena cepat-cepat pindah ke bawah pohon beringin yang rindang. Untuk sementara mereka terbebas dari terpaan hujan. Namun hujan bukan satu-satunya masalah. Karena dari arah selatan angin kencang tiba-tiba menderu.
“Uh, kencang sekali anginnya,” kata Kaleena yang sejak tadi memeluk dada. Gadis itu belum sepenuhnya terbiasa dengan tubuh bagian atas yang polos tanpa baju. Dia merasa kedinginan. Hembusan angin membuat dia menggigil.
Angin memang berhembus dengan kencang. Sangat kencang. Pucuk pepohonan dipaksanya menari. Semak belukar berputaran seperti pusaran alam. Desau angin dan gerak pepohonan terdengar seperti lagu kematian yang sumbang.
Dan tiba-tiba alam menjadi terang-benderang. Hanya sekejap. Diikuti bunyi yang menggelegar.
Petir rupanya ingin juga berpesta malam itu. Diawali dengan berkelebatnya kilat, disusul bunyi gemuruh yang memekakkan gendang telinga.
Dan kilat menyambar lagi.
“Ahhhh....” Tanpa sadar Kaleena menelusupkan kepalanya ke arah Dhanapati.
“A... aku takut...” bisik gadis itu.
Kaleena boleh saja menjadi pendekar yang memiliki ilmu bela diri tinggi. Namun dia pada hakekatnya tetaplah perempuan. Yang tetap merasa ngeri dengan petir dan kilat yang menyambar-nyambar. Ditambah hembusan angin kencang disertai hujan lebat, lengkap sudah kengerian yang tiba-tiba menyelubungi hati.
“Tak apa-apa. Hanya petir. Ada aku di sini...” ujar Dhanapati, yang tiba-tiba merasa dadanya berdebar kencang. Tubuh gadis itu memepetnya, sangat dekat.
Dhanapati cepat-cepat menggelengkan kepala. Pengaruh Pohon Surga yang diminumnya ternyata masih ada. Dia merasa debur di dadanya makin kencang, sehingga untuk sesaat Dhanapati menyangka jangan-jangan gadis itu bisa mendengarnya.
“Dhanapati...”
“Iya?”
“Ka... kamu jangan nakal...”
“Nakal apanya?”
“Ja..jarimu. Ja...ngan...”
.....
“Dhanapati.. ...”
.....
“Geli... Dhanapati....”
.....
“A...aduhhh...”
“Kamu kenapa Kaleena?”
“Ah... ti... tidak,” bisik gadis itu terengah. “Aku digigit nyamuk...” (bersambung)
p.s
Kisah selanjutnya bagusnya dibikin gimana ya? Dibikin ‘ehem-ehem’ ato gimana? Hehehehe ;)
Labels: darah di wilwatikta, desah, geli, hujan, petir
1 Comment:
-
- amatamorgana said...
August 27, 2011 at 8:20 AMwakakak..ehem..ehemnya yang seberapa nih mba? emang kaleena polosan topless gitu? wuiih..kena undang2 pornografi ga tuh? ^^