Eps 40. Maut Mengintip di Lapangan Bubat
5 comments Posted by Cerita Silat ala Rumah Kayu at 8:27 AMPENDEKAR Padi Emas melangkah menyusuri jalan berbatu di Trowulan. Seperti biasa, ibukota Kerajaan Majapahit ini ramai oleh lalulalang penduduknya. Sebagai kota terbesar di Jawadwipa, tak mengherankan jika Trowulan menjadi daya tarik utama, bukan hanya masyarakat biasa, namun juga berbagai tipe pedagang yang datang dari berbagai daerah.
Kios gerabah yang dituju letaknya tidak jauh, dan Pendekar Padi Emas merasa tidak perlu terburu-buru. Dia mencoba menikmati setiap denyut yang terasa di kota ini. Dia menarik nafas dalam-dalam, mencoba merasakan aroma sebuah kota. Selalu menyenangkan bisa berada di kota, pikirnya.
Dia terus melangkah, menikmati dan meresapi pemandangan. Hingga dia merasa ada sesuatu yang salah.
GULITA malam memeluk ribuan pepohonan yang memenuhi hutan di bibir tebing yang berbatasan dengan sebuah samudera.
Mohiyang Kalakuthana melangkah keluar dari pondok kayu yang terletak di hutan tersebut. Beberapa tombak di belakangnya, Kiran mengamati dengan waspada. Tangannya menggenggam selendang halus berwarna pelangi yang terikat di pinggangnya.
Kiran melihat Mohiyang berjalan dengan kecekatan yang mengagumkan. Tak tampak sama sekali bahwa usianya sudah lanjut. Dia melangkah cepat, hampir tanpa suara. Menunjukkan ketinggian ilmu yang dimilikinya.
Mohiyang telah meminta Kiran untuk membiarkannya mencari sumber suara dari luar pondoknya. Tapi tentu saja Kiran tak dapat membiarkan nenek tua itu melakukan hal tersebut sendirian. Segera setelah sosok Mohiyang tak lagi tertangkap oleh pandangnya, Kiran melangkah keluar pondok.
Kiran menajamkan pendengarannya. Diantara gerisik daun dan suara debur ombak, didengarnya dia dapat menangkap beberapa suara bersahutan dari arah kemana Mohiyang menuju tadi. Satu diantaranya jelas suara serak Mohiyang Kalakuthana. Kiran tak dapat menangkap jelas apa yang mereka percakapkan. Dia hanya dapat mendengar suara seorang laki- laki berkata “ serahkan… “ , disusul jawaban yang tak dapat tertangkap jelas kata- katanya dari Mohiyang Kalakuthana.
Kiran meningkatkan kewaspadaannya, sebab walau tak terdengar apa yang dipercakapkan, dari nada suaranya, Kiran dapat menangkap bahwa Mohiyang tak sepakat dengan apa yang dikatakan lelaki tersebut.
Kiran melangkah lagi sambil terus berusaha mendengarkan. Tapi tak lagi didengarnya suara percakapan. Rupanya percakapan itu tak panjang. Kiran bahkan baru berjalan sekitar tiga langkah ketika tiba- tiba terdengar suara “ akkhhhh… “ yang panjang dari beberapa orang, bersahutan hampir serentak , disusul suara bergedebukan seperti ada sesuatu yang berat terjatuh.
Kiran tak lagi berjalan kini. Dia melompat dan melayang dengan ringan, bersegera menuju arah sumber suara.
Saat dia tiba disana, Kiran melihat Mohiyang Kalakuthana berdiri diantara pepohonan. Di hadapannya, di atas tanah tergeletak lima lelaki berpakaian hitam. Kesemuanya telentang dengan darah mengalir keluar dari hidung dan mulut mereka.
MALAM datang seperti mimpi. Kegelapan menyelimuti persada, menghadirkan bayang-bayang mistis, seperti penari yang datang dari alam lain.
Dhanapati dan Kaleena baru saja menyantap ayam hutan panggang. Ayam hutan itu ditangkap Dhanapati ketika dia mencari sumber air. Ayam hutan jantan yang lumayan besar. Dan ternyata rasanya gurih. Dagingnya lembut kendati terasa agak tawar.
“Kelihatannya akan hujan,” kata Kaleena sambil menatap langit. Tak satupun bintang yang terlihat. Awan mendung pekat seperti cendawan raksasa yang menutupi cakrawala.
“Iya, ayo kita cari tempat untuk berteduh,” kata Dhanapati. Di hutan seperti ini, sangat kecil kemungkinan untuk mendapatkan tempat berteduh. Namun Dhanapati berharap bisa menemukan kuil atau candi, atau setidaknya sebuah dangau sederhana.
Namun alam rupanya menghendaki lain. Belum sempat keduanya beranjak, rintik hujan sebesar biji jagung turun ke bumi. Awalnya hanya beberapa. Namun seketika menjadi semakin banyak. Hujan lebat turun bagai airmata dewa yang murka.
Labels: darah di wilwatikta, desah, geli, hujan, petir
Eps 37. Kabar Tentang Kalung Yang Dicuri
4 comments Posted by Cerita Silat ala Rumah Kayu at 4:04 PMGEMERISIK dedaunan, suara serangga dan debur ombak meningkahi malam.
Mohiyang Kalakuthana duduk di tepi dipan, menatap tajam pada Kiran yang tangannya sudah terjulur hendak membuka kait pintu.
" Mau kemana, cah ayu? " tanya Mohiyang, sang ratu racun, pada Kiran.
Kiran memberikan isyarat. Menunjuk ke arah luar. Dengan segera Mohiyang Kalakuthana mengerti maksud Kiran. Dengan kecepatan dan kecekatan yang mengagumkan mengingat umurnya yang sebetulnya sudah tua, Mohiyang Kalakuthana turun dari dipan dan dalam sekejap telah berada di samping Kiran.
" Mundur, cah ayu, " desis Mohiyang pada Kiran, " Biar kutangani mereka... "
Kiran menurut. Dia mundur selangkah, namun dengan sikap tetap waspada. Dengan cepat dia mengeluarkan sehelai selendang berwarna pelangi dari balik kain yang dia gunakan dan mengikatkan selendang tersebut di pinggangnya...
Labels: darah di wilwatikta, diculik, kabar, merpati, trowulan
“Bersikap tenang,” bisik Dhanapati. “Tetaplah menunduk. Kita harus bersikap seperti petani dari desa...”
Derap kuda makin mendekat. Ada sembilan penunggang kuda yang datang bagai badai. Seperti yang diduga Dhanapati, para penunggang kuda ini hanya melirik sekilas dan dalam sekejap mereka lenyap.
Walau hanya lewat dalam sekelebat, namun mata Dhanapati yang tajam sempat menyimak. Dan dia terkejut.
“Hmmm... Aneh sekali,” gumam Dhanapati. “Mereka itu, ada yang dari Aliran Batu Hitam, Padepokan Bambu Hijau, Perkumpulan Melati dan Pesanggrahan Keramat. Bagaimana keempat kelompok yang berbeda itu bisa berjalan bersama?”
“Aliran Batu Hitam? Padepokan Bambu Hijau? Kamu bicara apa?” bisik Kaleena. Suaranya terdengar bergetar, pertanda rasa tegangnya belum sepenuhnya sirna.
“Di Jawadwipa, setiap aliran atau perkumpulan silat punya ciri khas tersendiri, yang juga menjadi semacam tanda pengenal bagi pihak lain,” jelas Dhanapati. “Aliran Batu Hitam misalnya, mereka biasa tampil dengan busana serba hitam dengan sabuk warna putih yang melintang di dada. Padepokan Bambu Hijau berpakaian serba hijau dan menggondol bambu hijau yang dijadikan senjata. Perkumpulan Melati mengenakan penutup kepala yang terbuat dari rangkaian bunga melati. Pesanggrahan Keramat, pada kedua lengan digambari lukisan ular berkepala tiga yang melingkar. Tapi sepanjang yang aku tahu, keempat kelompok itu tak pernah bekerja sama. Bagaimana mungkin mereka bisa menjadi satu rombongan dan mengejarmu?”
Kaleena mengangkat bahunya. “Bagaimana aku tahu? Aku juga pendatang di sini, ingat? Tapi, bagaimana kau bisa mengetahuinya? Jadi benar dugaanku, kau pasti bukan pemuda biasa...”
“Aku tahu, karena dulu pekerjaanku mengharuskan aku mengenal semua perkumpulan dan kelompok beladiri di Jawadwipa dan sekitarnya. Tapi itu dulu. Sekarang tidak lagi...”
“Apa yang terjadi?”
Labels: cerita silat, cersil, darah di wilwatikta, lu sekai, pedang, pohon surga
Eps 35. Kisah Surti dan... Prabu Wijaya?
5 comments Posted by Cerita Silat ala Rumah Kayu at 7:56 AMDHANAPATI menggerakkan tubuhnya. Gadis itu menghimpitnya, dan pemuda itu dapat merasakan hembusan nafas gadis itu yang seperti memburu.
“Aku tidak gila, nona. Hanya dengan cara itu kau bisa melepaskan diri dari para pengejar...”
Kaleena mundur selangkah, menatap Dhanapati. Tatapannya tajam, seperti ingin mengiris tubuh. “Bicaralah. Aku mendengarkan...”
“Begini,” Dhanapati berujar pelan, mencoba mencari kata-kata yang tepat. Melihat tatapan Kaleena, pemuda itu tahu, jika dia salah bicara, nyawanya mungkin akan melayang. “Setiap wilayah, setiap daerah, punya adat dan kebiasaan masing-masing. Di sini, di Jawadwipa, kita terbiasa tidak mengenakan penutup tubuh di bagian atas. Ini berlaku tidak hanya laki-laki, namun juga perempuan. Mungkin berbeda dengan daerah lain, namun di sini, bukanlah sesuatu yang melanggar norma kesusilaan jika perempuan tidak mengenakan penutup tubuh bagian atas....”
Dhanapati menatap Kaleena. “Kau pasti telah melewati beberapa dusun sebelum tiba di sini bukan? Berarti kau telah melihat bagaimana perempuan di Majapahit berbusana. Sebagian memang sudah mengenakan penutup dada, namun masih banyak yang tidak....”
“Dan kau ingin aku berpura-pura menjadi perempuan Jawadwipa?”
“Benar. Jika ingin meloloskan diri dari para pengejar, kau harus menyamar. Mereka mencari perempuan asing yang mengenakan pakaian merah warna-warni. Mereka pasti tidak akan menyangka kalau penampilan perempuan yang dikejar sudah berubah...”
Kaleena menarik nafas panjang, menimbang-nimbang. “Rasanya kau benar. Tapi... Aku harus ke kota raja, dan menyerahkan persembahan untuk Raja Majapahit. Bagaimana aku bisa ke Trowulan dengan setengah telanjang?”
Labels: darah di wilwatikta, menyamar, penutup dada, prabu wijaya, surti
MALAM menjelang.
Kota Trowulan masih tampak ramai. Kereta kuda berlalu lalang di sana sini. Di pendopo sebuah rumah yang terletak di pusat kota, tampak beberapa orang duduk bersila.
“ Berangkatlah kalian sekarang, “ seorang laki- laki berkata, “ Pastikan bahwa kalian dapat membawanya ke hadapanku dalam keadaan hidup dan selamat. “
Seorang perempuan dan seorang laki- laki yang duduk di hadapannya mengangguk tanpa menatap mata lelaki tersebut.
“ Baik, Ketua Muda, “ terdengar suara lirih perempuan.
Lelaki yang disapa sebagai Ketua Muda berkata, “ Durgandini, kau dan Rakai Wanengpati pernah gagal membawanya kemari. Bukan hanya gagal, tapi Ki Brengos bahkan terbunuh. Jangan sampai kali ini kalian membuat kesalahan dan gagal lagi. Tugas kali ini lebih mudah. Berikan suratku pada Mohiyang Kalakuthana, berikan juga uang emas ini, “ Ketua Muda menunjuk sebuah kantong yang tampak penuh, “ Dan bawa gadis itu kemari. “
“ Baik, Ketua Muda, “ kali ini bukan Durgandini, tapi laki- laki yang bernama Rakai Wanengpati yang menjawab, “ Kami akan laksanakan perintah Ketua Muda. “
“ Aku mau dia sampai di hadapanku dengan hidup, selamat, dan... utuh, “ Ketua Muda menekankan kata utuh.
Muka Rakai Wanengpati memerah. Ketua Muda rupanya tahu benar bahwa dia selalu mengantungi Paraga Gayuh Tresna ( Serbuk Perangsang Asmara ) kemanapun dia pergi serta tak pernah melepaskan kesempatan untuk menggunakan serbuk tersebut.
Sekilas Rakai Wanengpati teringat pada tiga orang gadis yang sempat terkena Paraga Gayuh Tresna tapi kemudian ditinggalkannya.
Entah apa yang terjadi pada para gadis itu. Mungkin juga mereka sudah gila sekarang, pikir Rakai Wanengpati.